Cerita Dewasa – Sweet Honeymoon
- Home
- Cerita bokep
- Cerita Dewasa – Sweet Honeymoon
Cerita Dewasa – Sweet Honeymoon
Cerita Dewasa – Sweet Honeymoon – Pesta sudah bubar. Para undangan sudah kembali ke rumah masing-masing. Hanya kerabat dan keluarga yang masih tersisa. Beberapa sahabat dekat kedua mempelai terlihat hilir-mudik di sekitar gedung tempat pernikahan itu. Sedangkan kedua mempelai berada di kamar rias, mengganti salin.
Bima, pengantin pria, keluar lebih dulu. Setelah berpakaian biasa, ia menyapa teman-temannya yang belum pulang.
“Ma kasih Bro, dah nemenin gue sampe acara selesai. Tengkyu berat,” ujarnya kepada dua sahabatnya yang masih menunggu.
“Gak masalah Bro. Sekarang tinggal elu jalanin aja. Everything will be all right Man! Santai aja,” ujar Doni, sahabatnya.
“Udah Bim, gak usah dipikirin, jalanin aja. Kalo cuma berantem kecil mah biasa, ntar juga biasa,” ujar Ferdy.
“Biasa berantem maksud lo Fer?” Tanya Bima.
“Ha ha, bukan itu maksud gue, jadi biasa bersama, bisa terima apa adanya. Lu kan gak sempet pacaran sama bini lo, jadi sekarang lu anggap aja pacaran. Malah asyik Bro, he he he,” ujar Ferdy.
Dua sahabat Bima memang mendukung rekannya untuk segera menikah. Karena tinggal Bima saja yang belum menikah. Usianya sudah 34 tahun.
*****
Tiga bulan lalu, Bima menyetujui usulan orangtuanya untuk menjodohkan dirinya dengan Rina. Rina adalah anak sahabat ayahnya yang lama tidak bertemu. Bima menyetujui usulan orangtuanya dengan syarat ia harus mendapatkan kecocokan dengan calonnya. Maka kedua keluarga pun akhirnya mempertemukan Bima dan Rina.
“Bima.”
“Rina,” sambil menyambut tangan perkenalan Bima saat mereka pertama kali bertemu di rumah Rina. Bima kemudian mengajak Rina untuk berbincang di tempat lain. Ia ingin mengetahui pribadi Rina tanpa harus berbasa-basi.
Bima mengajak ngobrol di sebuah kafe yang suasananya santai. Namun sepanjang perjalanan, keduanya lebih banyak diam. Kalaupun ada obrolan, itu hanya seputar profesi masing-masing yang sebenarnya sudah diketahui lewat informasi orangtua mereka.
Bima adalah anak tunggal di keluarganya. Ia seorang manajer yang dipersiapkan ayahnya untuk mewarisi sejumlah perusahaan. Sedangkan Rina adalah general manajer perusahaan minyak internasional. Rina anak pertama, dan adik laki-laki satu-satunya sudah menikah.
“Ada baiknya kita lebih dulu mengenal satu sama lain sebelum kita memberikan keputusan kepada orangtua kita. Mudah-mudahan kamu setuju dengan pendapat saya,” ujar Bima setelah sampai di kafe itu.
“Setuju,” balas Rina yang usianya terpaut dua tahun lebih muda dari Bima.
“Masing-masing dari kita pasti punya visi dan keinginan di masa depan. Mungkin Rina mau berbicara lebih dulu atau bertanya lebih dulu, silahkan.”
“He he, tidak. Karena ini urusan yang akhirnya adalah membentuk keluarga, dan budaya kita menganggap laki-laki sebagai pemimpin, lebih baik kamu dulu yang bicara dan bertanya,” balas Rina.
“Baik. Sebelum bicara panjang lebar, mohon dimaklumi kita baru saja bertemu dan dipaksa untuk mendapatkan bahan pertimbangan untuk membuat keputusan. Saya sendiri hanya diberikan waktu satu minggu oleh ayah saya, apakah mau menerima Rina atau tidak. filmbokepjepang.com Saya merasa itu tidak masuk di akal, karena tidak mungkin perjalanan hingga akhir hayat hanya diputuskan dalam satu minggu. Saya tidak menjanjikan apa-apa, hanya bisa bilang akan mencobanya,” ujar Bima.
“Setuju. Sama, saya juga diberikan deadline seperti itu. Tidak mungkin bisa menghasilkan keputusan yang bisa dipertanggung jawabkan dalam satu minggu. Padahal dengan waktu yang bertahun-tahun pun saya tidak bisa membuat keputusan,” balas Rina.
“Kita punya pandangan yang sama. Saya mau tahu, apa pandangan Rina soal perjodohan ini?” Tanya Bima.
“Terus terang saya tidak terlalu menganggap penting perjodohan ini. Pertama-tama mungkin saya hanya ingin membuat Papa senang. Kedua, saya bisa dapat teman baru, ketiga tidak ada yang memberatkan saya untuk menerima atau menolak. Saya nothing to lose,” ujarnya.
“Sama. Tapi saya menghormati keinginan Ayah saya. Satu sisi perjodohan ini mungkin menganggap saya seakan-akan tidak mampu mencari jodoh saya sendiri. Tapi di balik itu, bisa jadi ini memang jalan yang diberikan Tuhan lewat kemauan Ayah saya. Jadi saya tetap menganggap hal ini sebagai sesuatu yang baik,” jelas Bima.
Obrolan mereka pun semakin lama semakin dalam. Kedua orang itu pada dasarnya sudah memiliki dasar yang kuat untuk memilah logika dan perasaannya. Bahkan mereka sependapat bahwa perasaan bisa dikesampingkan untuk mewujudkan visi yang dimiliki. Artinya mereka bisa saja menikah meski keduanya belum memiliki rasa cinta.
Seiring mencairnya obrolan, mereka mulai tertarik satu sama lain. Tidak ada keputusan hari itu. Bima dan Rina hanya mengetahui kalau masing-masing merasa bisa menerima lawan bicaranya.
Keesokan harinya, Bima dan Rina bertemu lagi. Seusai kerja, mereka ngobrol lagi di tempat yang sama. Obrolan mereka semakin cair dan ketertarikan semakin terlihat. Bima pun meminta Rina untuk bertemu lagi besok. Namun kepada orangtua mereka, keduanya tetap menyatakan belum bisa memberikan keputusan apa-apa.
“Terus terang, aku hanya satu kali pacaran. Itupun waku SMA dulu. Ada beberapa cowok yang mendekati aku, tapi baru kali ini aku merasa cocok,” ujar Rina coba terus terang kepada Bima, saat bertemu lagi.
“He he he, sama. Aku pernah mendekati beberapa wanita, tapi baru kali ini juga merasa klop,” balas Bima.
“Terus apa bisa kalau kita dibilang pacaran sekarang ini?” Pancing Bima.
“Hhhmmm bisa. Eh kamu nembak aku ya? Kok gak romantis amat sih, gak ada rayuan-rayuan gombal,” ujar Rina.
Mereka akhirnya tertawa lepas. Itulah pertama kali mereka sama-sama mengakui satu kebersamaan. Satu tahap sudah mereka lalui, meski semua dikemas dengan bercanda. Waktu satu minggu yang dianggap tidak masuk akal, ternyata terbantahkan. Mereka bahkan sudah menyatakan pacaran dalam tiga hari saja.
Tapi hal itu mereka sembunyikan dari orangtua masing-masing.
Sampai batas satu minggu yang diberikan, kedua orangtua mereka tidak bertanya tentang hubungan mereka. Namun kedua orangtua mereka ternyata sudah menyiapkan acara lamaran.
“Bima, besok kamu gak boleh pergi kemana-mana. Semua keluarga besok kumpul di sini. Kita mau ke rumah Om Harjo, melamar Rina buat kamu,” ujar ayahnya Bima.
“Apa? Ayah kok gak tanya aku dulu. Ayah yakin sekali kalau aku setuju. Terus apa Rinanya mau? Nanti malah ditolak lagi,” protes Bima.
“Wah mana mungkin ditolak. Lah wong kita tahu kok, seminggu ini kamu setiap hari ketemu Rina kan? Kamu juga sering telepon-teleponan. photomemek.com Pakai panggilan Mas-mas, aku-kamu. Kita tahu. Om Harjo juga tahu, kalau anaknya lagi kasmaran. Ya sama siapa lagi kalau bukan sama kamu. Dah besok kamu siap-siap,” ujar ayahnya Bima.
Bima tentu saja kaget, tapi di dasar hatinya ia gembira. Namun ia ingin memastikan, apakah perasaan di relung hatinya memiliki gema yang sama di hati Rina.
“Na, kamu tahu gak kalau besok keluargaku mau datang ke rumahmu?” Bima segera menelpon Rina.
“Iya Mas. Katanya mau lamaran ya?”
“Iya. Aku jadi bingung, kan kita belum benar-benar kasih keputusan. Aku jadi gak enak sama kamu,” ujar Bima.
“Kok gak enak? Gak enak apa dag-dig-dug?” Canda Rina.
“He he he, dag-dig-dug sih. Aku kan belum tahu dengan sikapmu Na.”
“Kok belum tahu? Kita kan sudah pacaran.”
“Iya kita pacaran, tapi kan belum satu minggu pacarannya. Ini kan mau menikah Na, konsekuensinya panjang.”
“He he he, ternyata calon direktur punya kebimbangan juga ya,” goda Rina lagi. “Sekarang aku mau tanya sama Mas Bima. Selama tiga hari pendekatan, tiga hari pacaran, kamu yakin gak kalau aku bisa jadi isterimu?” Tanya Rina.
Bima terkejut dengan pertanyaan itu. Ia pun menjawabnya dengan terbata-bata. “Eeee..,” suara Bima gak jelas.
“Jangan pake ‘eeeee’. Yakin gak?” Sergah Rina.
“Yakin,” Bima berucap.
“Tanpa paksaan?” Rina coba menegaskan.
“Tanpa paksaan.”
“Kamu dalam keadaan sadar?”
“Sadar,” jawab Bima.
“Bagus. Itulah modal kita Mas. Kamu tahu, sejak awal aku nothing to lose menghadapi ini. Sedangkan kamu punya alasan lebih kuat lagi. Kamu menganggap bahwa perjodohan ini bisa jadi sebuah jalan untuk menemukan jodohmu. Mungkin ini memang jalan kita Mas. Bertahun-tahun kita mencari, ternyata hanya dalam satu minggu saja kita dibukakan jalannya,” ujar Rina.
“Itu artinya kamu mau?” Bima mencoba mencari jawaban yang lebih tegas.
“Masa aku harus jawab sekarang? Kan lamarannya besok Mas,” balas Rina.
“Oooooo Alhamdulillah….,” Bima sampai teriak ditelponnya. “Terimas kasih ya Tuhan,” tambah Bima.
“Mas gak usah teriak-teriak, nanti disangka apa lagi,” suara Rina di seberang telepon.
“Eh iya, ibuku sampai nyamperin aku nih.”
“Ya sudah, besok datang ya. Aku tunggu loh, jangan sampai nyasar ke rumahku,” canda Rina.
“Iya, aku gak bakalan nyasar sayang. Aku dah nyasar di hatimu,” balas Bima.
“Eh eh apa tadi?” Tanya Rina.
“Apa? Yang mana?”
“Tadi.. Kamu nyebut apa?”
“Yang mana? Nyasar di hatimu?
“Bukan, sebelum itu.”
“Apa….? Ooo sayang…?”
“He he he iya. Kamu sayang aku Mas?”
“Iya…. Gak apa kan? Kan kita dah pacaran, mau lamaran lagi besok, jadi aku merasa sayang kamu,” ujar Bima mencoba kata-kata gombal.
“Iya gak apa, dah seharusnya kamu sayang aku. Kan aku calon isterimu,” balas Wita.
“Iya, ya sudah. Sudah malam nih, kamu istirahat, met bobo ya,” sahut Bima tersipu.
“Met bobo..apa?”
“Met bobo,” Bima belum menangkap maksud Rina.
“Met bobo apa?” Rina terus memancing.
“Oo, met bobo sayang… Muah-muah,” ujar Bima.
“Gitu dong… Pinter. Met bobo juga Mas Bimaku sayang…daahhh.”
Hati Bima berbunga-bunga. Selama ini ia tidak pernah merasakan kegembiraan seperti itu. Ia geleng-geleng kepala, usia sudah tidak lagi muda untuk berpcaran seperti remaja. Bahkan kalau di kantor ia harus tampil dingin untuk mengeluarkan keputusan penting. Tapi menghadapi persoalan hati dan perasaan, ia kalah dengan anak-anak remaja. Tingkahnya pun seperti anak remaja tanggung.
Bahkan saat ibunya menanyakan alasan berteriak, Bima hanya cengar-cengir lalu memeluk ibunya sambil mengatakan terima kasih. Ia pun masuk ke kamar untuk menikmati perasaannya yang sedang jatuh cinta.
Keesokan harinya, acara lamaran berjalan lancar. Meski yang datang hanya keluarga dekat, namun tidak mengurangi rasa hormat keluarga Danuredjo kepada keluarga Suharjo Pramono. Lamaran keluarga Danuredjo tidak bertepuk sebelah tangan.
Melalui ibunya, Rina Pramono menyatakan bersedia disunting Bima Danuredjo. Bahkan kedua keluarga langsung memikirkan tanggal pernikahan mereka. Kedua keluarga sepakat tidak mau menunggu lama hari pernikahan anak mereka. Jika ada hari bagus dalam waktu dekat, mereka akan memilih hari itu. Dan ternyata pernikahan mereka dilangsungkan hari ini.
“Dah istirahat Bro, besok kan lu mau honey moon, jaga stamina. Apa malam ini juga mau elo jebolin? Apa jangan-jangan elo dah colongan ya, jebolin duluan, ha ha ha,” canda Ferdy.
“Ha ha ha, kalo itu rahasia dapur bro,” balas Bima.
Sebelum candaan semakin keluar batas, Doni langsung membelokkan pembicaraan. “Gue denger honey moon lu sedikit uniknya. Mau keliling Jawa, Bali, Lombok pakai mobil. Gila aja lu, yang ada malah capek di jalan Bro, bukan capek di ranjang, ha ha ha,” ujar Doni.
“Kita berdua memang pengen jalan-jalan, ya sekalian aja, pakai mobil. Jadi selama dua bulan, elo-elo pada jangan cari gue ya. Gue lagi sibuk tuh,” balas Bima.
“Busyet dua bulan? Pacarannya cuma tiga hari, honey moonnya dua bulan. Top dah elo bro,” ujar Doni.
“Fer mendingan kita cabut deh, kasian Bima biar istirahat. Malam ini kan malamnya dia. Kalo kita kan dah bosan, tempe lagi tempe lagi, kapan pizzanya,” tambah Doni.
“Yang tempe elu kali Don, kalo gue sih bisa dapet pizza, Dodol Garut, Bubur Ayam Sukabumi, Bakpia Jogya, atau Coto Makassar. Kemarin malah Ayam Hainan,” balas Ferdy.
“Iya abis makan, sakit perut lu. Yang lu makan gak dimasak higienis, banyak penyakitnya. Dah kita cabut, tuh Rina dah nyamperin, dah gak tahan kali dia, ha ha ha!” Ujar Doni.
Mereka pun berpamitan pada Bima dan Rina. Kedua mempelai pun bersiap-siap meninggalkan gedung resepsi menuju hotel yang sudah dipesan.
Dengan kekayaan yang dimiliki keluarga Danuredjo, Bima bisa menyediakan segala fasilitas dengan kualitas nomor satu. Begitu pula hotel tempat malam pertama menginap.
Tapi ia tahu, malam pertamanya tidak akan mendapatkan seks, karena bertepatan dengan jadwal datang bulan Rina. Bima hanya bisa menahan penasarannya.
“Sayang aku boleh tanya gak?” Bima coba bertanya tentang urusan tempat tidur sebulan sebelum pernikahan.
“Apa?”
“Gimana ngomongnya ya? Takut nyinggung kamu, soal privasi kamu.”
“Apa? Kasih cluenya dulu deh.”
“Soal seks.”
“Oooo seks. Kenapa? Kamu mau minta sebelum nikah?”
“Bukan-bukan itu.”
“Terus apa dong?”
“Eee kamu udah pernah belom?” Ujar Bima ragu-ragu.
“Ha ha ha ha. Sebelum aku jawab, aku tanya dulu ke kamu. Pertama, kamu dah siap dengan apapun jawabanku belum? Biasanya, pertanyaan itu mengandung harapan kalau aku belum pernah, masih perawan. Tapi bagaimana jika jawabannya ternyata kebalikannya? Apa kamu siap? Kedua, apa jawabanku menjadi sesuatu yang penting dalam prinsip hidupmu?,” balas Rina.
“Eee, iya sih ada harapannya di dalamnya. Aku ingin isteriku masih perawan sama sepertiku yang masih perjaka. Tapi kalo emang udah pernah juga gak apa, aku akan coba menerimanya,” ujar Bima.
“Ha ha ha ha, terima kasih kamu sudah jujur meski aku tidak tanya. Jadi sebenarnya aku gak perlu jawab, kamu tunggu aja jawabannya saat malam pertama nanti,” ujar Rina.
“Loh kok?” Bima bingung.
“Pertama, kamu belum yakin menerima apapun kondisiku sebenarnya. Kamu akui kalau kamu berharap aku masih perawan seperti kamu yang masih perjaka. Artinya, kamu hanya ingin aku seperti yang ada dalam pikiranmu saja. Padahal kenyataannya belum tentu. Itu menjadi pekerjaan rumah kita nanti kalau kita benar-benar jadi suami-isteri.
Kita harus membangun realita, bukan mimpi. Kedua, kamu sebenarnya tidak bermasalah dengan apapun kondisiku yang sebenarnya. Kamu hanya merasa terganggu jika aku tidak sesuai dengan harapanmu. Kondisiku yang paling jelekpun tidak melanggar prinsip hidupmu. Jadi aku memilih untuk tidak menjawab pertanyaanmu, apakah aku masih perawan atau tidak. Kamu bisa mendapatkan jawabannya saat malam pertama nanti,” ujar Rina.
“Aduh panjang bener jawabannya. Bisa singkat aja gak, udah apa belum?” Bima penasaran.
“Sabar ya, nanti kamu juga tahu kok.”
“Aduh bikin penasaran aja. Kita ke hotel aja yuk?” Bima mulai sedikit putus asa.
“Ke hotel? Ngapain?”
“Ya nyari jawabannya,” ujar Bima.
“Loh tadi aku tanya ke kamu, apa kamu mau minta seks sebelum nikah, kamu jawab nggak, bukan itu. Kok sekarang malah ngajak ke hotel, buat cari jawaban?,” balas Rina.
“Waduh malah jadi tambah penasaran sayang. Nggak ada jawabannya nih?” Bima putus asa.
“Sekarang tidak aku jawab, tunggu nanti saat malam pertama. Mas Bimaku sayang, bilang sama ‘bim-bim’-mu itu untuk sabar. Satu bulan lagi ketemu ‘rin-rin’-ku kok. Nggak bakal kemana-mana kalau sudah jodoh. Alu dan lumpang kalau sudah waktunya panen pasti akan ditalu. Masak tunggu satu bulan aja nggak kuat. Bim-bim kan dah nunggu 34 tahun, dan tetap kuat. Sabar ya,” ujar Rina.
Bima hanya garuk-garuk kepala saat itu. Kini sepertinya ia pun akan garuk-garuk kepala lagi karena Rina sedang datang bulan. Namun Bima sudah mengerti apa yang diinginkan wanita yang sudah jadi isterinya itu. Ia harus membersihkan harapan-harapan kosong di dalam otaknya.
Ia tidak lagi penasaran dengan jawaban atas pertanyaannya dulu. Bukan karena Rina sudah menjawab, tapi karena ia memantapkan hati bahwa ia menerima apapun kondisi Rina. Jadi apapun jawabannya, perawan atau bukan perawan, bukanlah masalah buat Bima. Ini adalah babak baru dalam kehidupannya.
“Kamu capek Mas. Mau aku pijet?” Ujar Rina ketika mereka memulai malam pertama mereka di di kamar paling mahal hotel bintang lima di Jakarta.
“Gak usah sayang. Kamu juga capek kan. Mendingan kita istirahat. Besok kita mulai perjalanan ke Jogya. Kamu juga harus istirahat, biar bisa gantian nyetir,” ujar Bima.
“Wah aku nyetir juga, bukannya itu tugas kamu?”
“Ya kalau kepepet, gantian ya,” ujar Bima sambil merebahkan tubuhnya di sofa yang tak kalah empuk dengan kasur di kamar hotelnya.
“Loh kamu kok tidur di situ Mas. Ini kasurnya masih luas, empuk lagi,” pancing Rina.
“Aku di sini aja ah, leluasa.”
“Sudah sini aja. Kenapa? Kamu takut ketahuan kalau tidurmu ngorok? Gak apa kok kalo kamu ngorok, paling aku bangunin kalo ngoroknya keras,” canda Rina.
“He he he, bisa jadi. Udah aku di sini aja.”
“Ya udah aku tidur di sofa juga ya bareng kamu,” ujar Rina sambil mendekati Bima.
“Loh kamu kok ke sini. Di kasur aja.”
Tapi Rina tetap memaksa untuk tidur bersama Bima meski sofa itu hanya muat untuk satu orang. Hal itu malah membuat Bima salah tingkah. Hingga akhirnya ia mau pindah ke kasur.
“Kenapa sih Mas? Kamu gak suka tidur sama aku? Jangan-jangan kamu gak mau tidur sama aku karena di otakmu ada pikiran jelek, kamu menganggap aku gak pantes buat ditiduri ya?” Tanya Rina.
“Bukan, bukan itu masalahnya. Kamu sangat menarik, cantik, dan pintar. Tidak ada masalah dengan kamu. Aku cuma gak biasa tidur sama perempuan,” ujar Bima lugu. Seandainya saja, Rina tahu kalau sebenarnya dalam dua bulan terakhir Bima tak bisa tidur karena selalu membayangkan tubuh Rina.
“Ha ha ha, ya sudah jangan anggap aku perempuan. Anggap aja aku guling, bisa kamu peluk sekencang-kencangnya,” goda Rina.
“Mana bisa dianggap guling. Bentuknya aja beda. Kalau guling mah lonjong rata, nah kamu ada tonjolannya. Nanti salah pegang, aku malah ditampar,” ujar Bima.
“Ha ha ha, kamu pernah ditampar perempuan ya? Tenang aja aku gak bakalan tampar kamu kok. Dah sini tidur sama aku, anggap aja aku guling oke,” pinta Rina dengan sedikit memaksa.
Bima pun menuruti kemauan isterinya itu. Dengan terpaksa ia Bima tidur di samping Rina. Selama lima menit mereka hanya diam saja tidak ada suara. Sampai kemudian Rina membuka suara.
“Mas gulingnya dipeluk dong,” ujar Rina.
Bima pun menuruti isterinya dengan memeluk guling yang ada.
“Bukan itu Mas, ini gulingnya nih,” ujar Rina sambil mendekatkan tubuhnya yang menyamping ke arah Bima.
Bima tak bisa menyembunyikan kekakuannya. Ia benar-benar canggung ketika menyampirkan tangannya ke tubuh Rina. Sedangkan Rina tersenyum ketika ia mendapatkan kemenangan atas godannya.
“Kok kaku gini Mas. Santai aja pegangnya. Kamu benar-benar gak pernah peluk perempuan ya, selain ibumu?”
“Heee’ eeeh,” sahut Bima pendek.
“Masa sih? Bohong kamu,” pancing Rina.
“Beneran, aku gak pernah.”
“Kok bisa sih, hari gini. Cowok lain aja dah pada unjuk kehebatan kalo soal perempuan. Temenmu yang namanya Ferdy juga kayanya suka jelalatan kalau liat perempuan.”
“Kalau dia iya, suka gonta-ganti pacar. Kalau Doni dan aku gak jauh beda. Tapi yang paling parah aku, aku gak pernah pacaran,” ujar Bima.
“Rada aneh sih sebenarnya. Kamu ganteng, anak konglomerat. Kalau kamu mau perempuan, pastinya tinggal tunjuk aja. Aku yakin banyak perempuan yang ngantri sama kamu, tapi kok ngakunya masih perjaka. Terus sekarang diajak memeluk perempuan malah kebingungan dan ketakutan,” tanya Rina.
“He he he, orangtuaku memang mengajarkan seperti itu. Ayahku sangat menghormati ibuku. Meski ayahku kepala keluarga, tapi dia menjadikan ibuku sebagai orang yang paling dihormati di rumah. Dia pernah bilang, perempuan adalah penerus kehidupan. Hanya perempuan yang bisa melahirkan anak, dan anak-anak akan tumbuh menjadi manusia yang melanjutkan kehidupan di alam semesta. Jadi jangan pernah durhaka terhadap perempuan, apalagi perempuan yang melahirkan kamu. Ucapan itu terngiang dalam otakku. Jadi aku tidak mau macem-macem, takut durhaka,” jelas Bima.
“Ooooo, hebat ya ayahmu, juga ibumu. Nanti kalau kamu punya anak, akan kamu didik seperti itu juga?”
“Iya, sejauh ini pandangan itu belum terbukti salah. Jadi itu prinsip yang benar,” jawab Bima.
Rina tidak berkata apa-apa. Ia hanya diam dan meraih tangan Bima agar memeluknya lebih erat lagi. Dalam hatinya, Rina merasa bersyukur, jika apa yang diutarakan Bima adalah kenyataan tentang pribadi Bima, maka ia mendapatkan suami yang sempurna. Tapi ia ingin mengujinya lagi.
“Kamu benar masih perjaka?”
“Iya, meski aku gak bisa membuktikannya.”
“He he. Gak pernah peluk perempuan juga, seperti ini?”
“Ini baru pertama kalinya.”
“Kalau ciuman?”
“Belum pernah juga.”
“Jadi aku benar-benar dapat yang belum pengalaman dong, masih fresh graduate,” goda Rina.
“Iya, kamu maunya yang dah pengalaman ya. Yaah, aku adanya seperti ini. Kamu ajarin aku aja ya,” Bima berkata apa adanya.
“Kita belajar bersama aja ya,” ujar Rina. Selepas berkata seperti itu, Rina membalik badannya dan mencium Bima. Bima kaget, mendapat serangan mendadak. Dia hanya diam saja. Namun Rina kemudian memeluk Bima dan mencium bibir suaminya.
Ciumannya lembut. Lewat bibirnya, Rina ingin mengatakan bahwa ia bersyukur dengan perjalanan hidupnya dalam tiga bulan terakhir ini. Ia menemukan pria yang pantas untuk dicintai dan menjadi tempat sandaran hidupnya hingga akhir hayat. Lewat bibirnya, Rina berjanji akan memberikan seluruh hidupnya pada Bima.
Bima menerima ciuman Rina. Ia tak tahu harus berbuat apa. Instingnya mengatakan kalau ia harus membalas ciuman itu. Maka ia pun melakukannya. Ketika ciuman itu semakin panas, Bima merasakan ada ketegangan dalam tubuhnya. Saat lidah mereka saling bertemu, Bima merasakan sengatan listrik di dalam tubuhnya. Bima terhenyak, takjub dengan apa yang dia rasakan. Ciuman mereka sempat terlepas.
Namun ketika mata Bima beradu dengan mata Rina, Bima kembali ingin mencium Rina. Di dalam sorot mata mereka, mulai terpancar benih-benih cinta yang sesungguhnya. Bima mencium Rina dengan lembut, ia ingin mengabarkan bahwa rasa sayangnya bertambah. Ia tak peduli dengan apapun, ia ingin memiliki Rina sepenuhnya.
Sambil berciuman, Bima kemudian memposisikan badannya menindih Rina. Mereka masih berpakaian lengkap, meski itu hanya pakaian tidur. Ciuman Bima semakin membara, tak hanya bibir, ia juga menjelajah wajah Rina yang cantik.
Sedangkan Rina yang pasrah hanya bisa melenguh. Ia menerima apapun perlakuan suaminya. Sampai pada satu titik, Bima memberanikan diri meraba payudara istrinya.
Payudara Rina boleh dibilang tidak besar, tapi tidak kecil juga. Gundukan itu terlihat jelas, meski Rina tidur terlentang. Bima mengusap payudara Rina yang masih terbungkus pakaian. Rina pun melenguh. Hanya saja kemudian Rina berkata,” Maaf ya Mas. Kamu mau cari jawabannya sekarang ya? Aku masih haid. Nanti kamu malah dapat jawaban yang tidak valid.”
“Eh maaf ya. Aku gak sengaja,” ujar Bima gugup dan menghentikan semua aksinya. Bima pun merebahkan diri ke samping Rina. Sejenak ia merasa bersalah. Ia mengira Rina sakit hati atas perlakuannya.
“Bukan masalah sengaja atau tidak sengaja Mas. Aku ini isterimu, boleh kamu gauli, boleh kamu apain aja. Tapi aku sekarang masih haid. Jadi gak bisa,” jelas Rina.
“Oooo, aku kira, aku sudah nyakitin kamu. Maaf ya kalau aku nyakitin kamu,” ujar Bima.
“Nggak ada yang sakit Mas. Aku gak apa-apa. Kita pelukan aja ya, besok kita berangkat,” ujar Rina. Mereka pun tidur berpelukan sampai esok hari.
Setelah sarapan pagi, mereka kemudian bersiap-siap untuk berangkat ke Jogya. Bima sengaja menggunakan mobil cruisernya untuk bulan madunya.
“Dua bulan nih Mas? Kamu yakin?”
“Yakin. Perjalanan ini akan membantu kita memperkuat hubungan. Nanti pasti akan ada konflik, ada pertentangan, tapi ada penyesuaian juga. Tantangan di perjalanan akan menguji kita. Karena kita hanya punya waktu sedikit untuk perkenalan, jadi ini cara yang efektif buat kita.”
“Siap Bos. Bismillah ya,” ujar Rina.
“Bismillah Na.”
Mereka pun berangkat ke Jogya. Mereka sepakat untuk melakukan perjalanan itu dengan santai. Tidak ada target waktu yang harus dikejar. Tujuan mereka bukanlah kota yang akan disinggahi, tujuan mereka adalah perjalanannya itu sendiri. Sepanjang perjalanan, mereka benar-benar bisa merasakan kebersamaan. Bertukar pikiran, bicara tentang hobi, dan lainnya. Bahkan mereka juga membicarakan tentang ide-ide di masa depan.
“Jam berapa Na?”
“Jam setengah tujuh Mas, kenapa kamu? Laper ya atau capek?”
“Di mana kita Na?”
“Mau masuk Salatiga Mas,” ujar Rina yang memegang peta Pulau Jawa.
“Kita bablas langsung Jogya aja ya? Kayanya masih bisa sampai sebelum tengah malam.”
“Kamu gak capek?”
“Masih kuat kok, dulu aku juga suka begini sama Ferdy dan Doni,” ujar Bima.
“Oke, kalau gak kuat bilang ya.”
Sebelum tengah malam, mereka benar-benar sampai di Jogya. Mereka pun mendapatkan hotel yang tak kalah mewah dengan hari sebelumnya. Namun kamar mewah itu hanya untuk istirahat saja. Benar-benar istirahat, karena keesokan harinya mereka bangun jam sepuluh siang. Rina tak tega membangunkan suaminya yang sepertinya kelelahan dalam perjalanan kemarin.
“Dah siang ya Na?”
“He he he, bangun juga kamu. Aku kira dah nempel sama kasur?”
“He he he, enak banget tidurnya Na. Puas banget.”
“Iya, aku juga. Mungkin karena kita kecapekan dari kemarin ya Mas? Beberapa hari sebelum nikah, kita sudah capek, terus acara nikah, terus perjalanan kemarin. Kayanya plong ya kita bisa istirahat.”
“Iya, kayanya hari ini aku mau di hotel aja, tidur-tiduran. Nanti malam aja jalan keliling kota.”
“Iya, setuju. Paling aku mau berenang aja nanti. Kamu temenin aku berenang ya,” ujar Rina.
“Iya.”
Tak ada batas waktu yang mereka tentukan di Kota Gudeg itu. Mereka akan meneruskan perjalanan jika sudah tak ada tujuan di kota itu. Hari itu digunakan untuk istirahat. Sepanjang hari hanya berada di dalam kamar. Televisi dan tidur siang jadi menu utama mereka. Hanya pada malam hari mereka keliling kota sambil mencari makan malam.
Saat kembali ke hotel, mereka istirahat lagi.
Bima tak bosan-bosan memeluk Rina. Bima memeluk isterinya dengan erat setelah memberikan ciuman sebelum tidur. Mereka terbangun usai subuh menjelang pagi.
“Mas bangun, dah subuh. Sholat yuk,” Rina membangunkan suaminya.
“Ooh subuh ya,” Bima yang masih mengantuk kemudian bergegas bersiap untuk melaksanakan kewajibannya. Meski bukan pribadi yang religius, tapi di awal pernikahannya ini Bima ingin melakukannya dengan kebaikan. Mereka pun sholat berjamaah dengan Bima menjadi imam.
Seusai sholat, Rina beringsut ke depan untuk mencium tangan suaminya. Sebagai bukti kalau ia menghormati Bima sebagai pemimpin keluarga di dunia dan akhirat. Bima yang belum terbiasa pun kaget, tapi ia kemudian menerima salam itu, dan kemudian membalas dengan mencium kening Rina.
“Na, kalau kamu sholat, berarti kamu sudah selesai dong haidnya?” Ujar Bima sebelum melepaskan isterinya menjauh dari dirinya.
“Iya Mas, terus kenapa?”
“Ya gak kenapa-kenapa. Kamu sudah tidak palang merah lagi,” Bima tak bisa mengutarakan keinginannya dan hanya memutar kata-katanya.
Seusai sholat, Bima kembali ke tempat tidur. Ia sebenarnya penasaran dengan hasrat seksualnya. Namun ia tak bisa mengungkapkan kepada istrinya. Bima berusaha menenangkan diri sambil rebahan dan menonton siaran televisi pagi hari. Sedangkan Rina membuatkan teh hangat untuk Bima.
“Mas, ini tehnya. Kamu suka teh kan kalo pagi?” Ujar Rina yang kemudian ikut rebahan dengan Bima di kasur.
“Kok diam aja. Gak mau teh ya?” Tanya Rina.
“Bukan, mau kok,” ujar Bima yang kembali menonton televisi.
Mereka sempat terdiam lama sambil menyaksikan televisi, hingga Bima akhirnya bersuara.
“Na.”
“Iya Mas?”
“Eeee anu. Eee soal haid.”
“Iya soal haid, kenapa?” Ujar Rina pura-pura tak mengerti.
“Sudah selesai ya?”
“Iya, kan dah sholat, kemarin juga dah berenang.”
“Oooo, kalo gitu bisa dong?”
“Bisa apa Mas?” Ujar Rina terus pura-pura tidak mengerti.
“Ya bisa.”
“Iya bisa sholat kan Mas?, tadi udah kok,” Rina tetap memainkan kepura-puraannya.
“Selain sholat kan ada ibadah lainnya Na, apalagi pengantin baru,” pancing Bima.
“Yang lainnya seperti apa Mas?”
“Ah kamu pura-pura gak tahu ya?”
“Ha ha ha, aku gak tahu Mas. Kan baru kali ini jadi pengantin.”
“Uuuuhhhh, ya udah deh kalo gak mau,” Bima merasa gagal merayu.
“Ha ha ha ha, jangan ngambek Mas Bimaku. Ya sudah, kamu sudah siap sekarang?”
“Kok malah kamu yang tanya aku, apa aku siap? Dari kemarin juga siap. Biasanya perempuan yang ditanya siap apa nggak.”
“Tuh kan sekarang dia yang lupa. Ingat gak kamu pernah tanya ke aku apa aku pernah ngelakuinnya apa belum. Kalau kita melakukannya sekarang, artinya kamu akan tahu jawabannya. Nah sekarang kamu benar-benar siap dengan jawaban yang akan kamu dapatkan?”
“Aku siap. Apapun kondisi kamu, sudah pernah atau belum, tidak akan mempengaruhi komitmen pernikahan kita, tidak akan mempengaruhi cinta yang akan tumbuh di antara kita,” ujar Bima tegas.
“Kamu berjanji Mas?”
“Aku berjanji.”
“Berjanji akan menerima aku apa adanya?”
“Berjanji.”
“Berjanji akan belajar mencintaiku?”
“Berjanji.”
“Sungguh?”
“Sungguh.”
“Hmmm. Aku percaya sama kamu Mas. Aku juga akan melakukan hal yang sama,” ujar Rina sambil mengecup pipi suaminya. Setelah itu Rina beranjak dari kasur dan ke kamar mandi. Bima kebingungan dengan tingkah isterinya. Setelah Bima menyatakan sikapnya, isterinya malah meninggalkannya.
“Mas, nanti jangan ketawain aku ya. Aku cuma ikuti saran teman-teman nih,” ujar Rina dari dalam kamar mandi.
“Loh kamu ngapain?”
“Udah pokoknya jangan ketawain, aku malu.”
Rina kemudian keluar dari kamar mandi hanya mengenakan lingerie hitam. Ia memadukan lingerie trasparan itu dengan bra hitam dan celana dalam hitam yang hanya menutupi bagial vitalnya saja. Lingerie hitam itu sangat kontras dengan kulitnya yang putih.
Bentuk tubuhnya tercetak jelas. Meski Rina bukan remaja atau perempuan usia 20-an, namun itu tidak mempengaruhi kecantikan alamiahnya. Rina pun sebenarnya adalah perempuan yang pandai menjaga tubuhnya.
Awalnya Rina canggung ketika keluar dari kamar mandi. Namun ketika ia melihat Bima terbengong-bengong, menelanjangi tubuhnya lewat sorotan mata, Rina memiliki kepercayaan diri. Ia yakin bahwa suaminya mengagumi dirinya.
“Kamu cantik sekali…” Ujar Bima ketika Rina rebahan ditempat tidur.
“Aku cantik ya Mas?”
“Sangat cantik. Aku nggak kira kamu ternyata benar-benar cantik,” Bima mengucapkan sambil menatap Rina tanpa lepas.
“Kan sudah aku bilang. Jangan hanya sibuk dengan perkiraanmu saja, kadang kala realita berbicara lain, he he he.”
“Aku percaya sama kamu. Aku cinta kamu,” ujar Bima sambil mengecup kening isterinya.
“Aku juga Mas. Kita akan belajar saling mencintai,” balas Rina sambil menatap mata suaminya. Mereka kemudian berciuman mesra. Bima mencium lembut bibir isterinya. Tubuhnya diposisikan di atas tubuh Rina. Seakan ingin melindungi wanita yang akan mendampingi seumur hidupnya.
“Mas, aku yakin sekarang jika kamu akan benar-benar menerima aku apa adanya. Miliki aku Mas, miliki hati dan tubuhku Mas. Ini kupersembahkan untukmu. Sebenarnya aku sama sepertimu, aku juga belum pernah melakukannya,” ujar Rina lembut.
“Kamu belum pernah? Masih perawan?” Tanya Bima ingin memastikan.
“Iya, seluruh tubuh dan hatiku hanya untuk suamiku, dan itu adalah kamu,” ujar Rina.
Bima sangat senang mendengar jawaban Rina. Memang bukan sesuatu yang penting lagi untuk dirinya, tapi hal itu membuat dia semakin memiliki perasaan yang dalam untuk isterinya. Dalam hati ia berjanji tidak akan menyia-nyiakan Rina.
Sepanjang hidupnya, momen seperti ini adalah salah satu yang ditunggunya. Ia mengakui kalau urusan tempat tidur sebenarnya hanya untuk menuntaskan rasa penasarannya saja. Seperti bunga-bunga dalam perjalanan hidupnya. Ia sangat bersyukur, penantiannya, kesabarannya, dan keteguhan hati, memegang nilai yang ia anggap benar ternyata berbuah manis.
Selama ini ia hanya berharap bisa mendapatkan pendamping yang tak hanya bisa menjadi teman hidup, tapi juga seseorang yang menyempurnakan perjalanan hidupnya. Dan kini ia memiliki Rina. Perempuan yang ideal untuk dirinya. Tak hanya pintar, Rina juga dewasa dan cantik. Rina adalah tulang rusuknya yang selama ini dicari-cari. Bima pun mencium bibir Rina, mengatakan hal itu lewat bibirnya.
“Mas pelan-pelan ya. Aku tetap ketakutan,” ujar Rina.
“Iya, kamu kasih tahu kalau ada apa-apa ya. Jangan biarkan aku sibuk dengan perkiraan-perkiraanku saja,” ujar Bima.
“Iya kita belajar bersama ya.” Rina kemudian memasrahkan dirinya. Ia merilekskan seluruh tubuhnya, memberi kesempatan kepada Bima untuk menuruti insting laki-lakinya.
Rina mendapatkan ciuman lembut di sekitar wajahnya. Seluruh badannya terasa bergetar ketika mendapatkan rangsangan-rangsangan yang belum pernah didapatkan sebelumnya. Ciuman di kuping saja sudah membuat Rina melenguh. Ada rasa yang aneh ketika bibir Bima menyentuh kupingnya. Bulu kuduknya berdiri, tapi ia juga merasakan geli. “Aaaahhhh…”
Bima kaget, takut kalau ia menyakiti isterinya, ia menghentikan aksinya. “Kenapa sayang?”
“Gak apa Mas terusin aja,” ujar Rina.
Bima kembali meneruskan aksinya. Kini ia ingin mempraktekkan pengetahuan yang sebelumnya hanya ia dengar lewat cerita atau tontonan vulgar saja. Ia ingin mendapatkan pengalamannya sendiri.
Ciuman Bima kini mengarah ke leher. Leher Rina yang jenjang ditelusuri dengan perlahan. Bima seakan tak percaya dengan momen ini, seperti mimpi yang jadi kenyataan. Bahkan Bima masih tak percaya kalau ia menikah, memiliki isteri. Sebelumnya hal itu hanya berbentuk harapan dan doa saja.
Perlahan demi perlahan ia telusuri leher isterinya. Bima sangat menikmati leher Rina yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Ia tak hanya mencium, tapi juga menjilatnya. Rina melenguh lagi. “Uuuhhhh….Mass….”
Bima yang mulai paham dengan arti lenguhan itu meneruskan aksinya. Lidahnya meluncur ke bagian bawah menuju payudara Rina. Ia memperhatikan bentuk payudara Rina yang masih terbungkus bra dan lingerie hitam. Sungguh pemandangan yang selama ini hanya menghiasai mimpinya saja.
Lidah Bima terbentur dengan tepi lingerie Rina saat ia ingin mendaki bukit kembar isterinya. Rina paham dengan keinginan suaminya. Ia pun memberi isyarat kepada Bima ketika ia akan membuka lingerienya. Bima ikut membantu meloloskan pakaian yang membuat tubuh Rina terlihat sangat sensual.
“Kamu jangan tertawakan aku ya. Aku malu,” ujar Rina.
“Kenapa malu? Aku tidak akan menertawakan isteriku sendiri,” balas Bima.
Sungguh pemandangan yang luar biasa ketika lingerie Rina terlepas dari tubuhnya. Bra hitam dan celana dalam hitam sangat kontras dengan kulit Rina yang putih. Bima sampai menelan ludah ketika melihat tubuh isterinya yang hanya menyisakan bra dan celana dalam.
“Ini sekalian juga Mas?” Tanya Rina sambil memenang branya.
“Eee, boleh..” Bima hanya berharap.
“Tapi aku malu Maasss,” ujarnya manja.
“Sayang. Aku mau terus terang sama kamu. Sebulan ini, aku suka ngebayangin tubuh kamu kalau malam. Kadang-kadang aku terangsang kalau membayangkannya. Maaf ya, tapi aku memang menginginkan tubuh kamu. Hatimu juga, semuanya. Jadi jangan malu, aku gak akan merendahkan kamu. Justru karena kamu hanya memberikannya untuk aku, kamu sangat berarti buatku. Kamu akan aku jaga sebaik-baiknya,” ujar Bima.
“He he, ya udah bantuin buka,” Rina kembali manja sambil membalik tubuhnya membelakangi Bima. Rina minta tolong untuk membuka kaitan branya. Bima yang baru pertama kami membantu membuka bra perempuan terlihat kesulitan, namun akhirnya berhasil juga.
“Celananya juga Mas?”
“Iya, sekalian aja sayang,” Bima sudah tak bisa menyembunyikan birahinya.
Rina awalnya ragu, namun ia akhirnya meloloskan satu-satunya pakaian yang tersisa di tubuhnya. Rina sangat malu. Itulah pertama kalinya, seorang laki-laki melihat tubuh telanjangnya. Satu tangan Rina menutupi payudaranya, sedangkan satu lagi menutup selangkangannya. Rina kemudian berbaring terlentang.
Rina hanya bisa senyam-senyum saja. Ia benar-benar malu. Tapi bagi Bima, itu adalah pemandangan paling indah sepanjang hidupnya. Untuk kali pertamanya ia benar-benar melihat tubuh perempuan telanjang. Tak hanya itu, tubuh itu adalah isterinya yang mulai dicintainya.
“Kok ditutup sayang, buka dong. Aku mau lihat,” rayu Bima.
“Malu mas…” Ujar Rina. Namun Rina kemudian mengalah dan melepaskan tangan yang menutup bagian paling privasi dari tubuhnya. Rina kini menutup mukanya. Ia benar-benar malu, menyadari Bima memandangi tubuhnya.
Bima tak bisa berkata-kata. Ia benar-benar takjub dengan tubuh Rina. Kulitnya yang putih mulus, payudaranya yang menantang, juga kemaluannya yang ditumbuhi rambu-rambut halus. Bima tak bisa lagi menahan birahinya. Secepat kilat, ia langsung melepaskan seluruh pakaian di tubuhnya saat Rina masih menutup wajahnya.
Kini mereka benar-benar tanpa busana. Bima menempatkan tubuhnya di atas tubuh Rina. Kaki Rina yang rapat, direnggangkan dengan kaki Bima. Bima juga mendekatkan wajahnya ke wajah Rina yang masih tertutup kedua tangannya.
“Sayang lepas tangannya, lihat aku. Nggak usah malu, aku juga sudah gak pakai baju,” ujar Bima.
Setelah Rina melepas tangannya, Bima menatap lekat mata Rina. Ia ingin mengatakan kalau ia tak mau kehilangan isterinya. “Sayang, meski kita belum terbukti benar-benar saling mencintai, tapi aku berjanji tak akan melepaskan kamu. Kamu adalah milik aku, dan aku hanya untuk kamu. Ini adalah awal perjalanan kita yang panjang. Kita akan melewati suka-duka bersama-sama,” ujar Bima.
“Iya Mas, aku janji. Miliki aku Mas. Ini hanya untukmu Mas,” ujar Rina.
Rina pasrah. Ia benar-benar siap merelakan keperawananya untuk Bima. Tubuhnya secara perlahan berangsur rileks. Rangsangan semakin menjadi saat payudaranya tersentuh lidah Bima. “Massss…”
Bima gemas dengan payudara isterinya, putingnya yang mendongak menjadi sasaran lidahnya. Beberapa kali, Rina tak kuasa menahan rangsangan, hingga tubuhnya harus melengkung.
Saat itu, kedua kaki Rina sudah mengangkang, dan membuat penis Bima yang tegang bersentuhan dengan tubuhnya. Rina menarik wajah Bima, ia mendaratkan bibirnya ke bibir Bima. Mereka berpagutan. Sementara penis Bima menggesek-gesek di luar vagina Rina.
“Mas, aku mau kamu…”
“Iya sayang. Kalo sakit bilang ya,” ujar Bima.
“Pelan-pelan ya Mas.”
Bima berusaha memasukkan penisnya ke vagina Rina. Namun ia selalu gagal. Dalam hatinya, ia bertanya apakah seperti ini jika masih perawan. Bima memang tak punya pengalaman apa-apa. Bahkan ia sendiri tak tahu pasti di bagian sebelah mana lubang vagina isterinya.
“Susah sayang,” ujar Bima.
“Aku bantu Mas,” ujar Rina. Rina ingin menunjukkan letak lubang vaginanya. Ia mengarahkan penis Bima agar mudah mendapatkan posisi yang tepat, namun saat tangannya memegang penis Bima, matanya mendelik.
“Sebesar ini Mas? Besar ya. Pelan-pelan ya Mas..”
Vagina Rina sebenarnya sudah penuh dengan cairan pelumas, sehingga penis Bima tak akan kesulitan menerobos ke dalam. Namun Bima tak mau memaksakan kehendaknya. Ketika penisnya terasa sudah tepat pada mulut vagina Rina, dia hanya menekan sedikit saja.
“Hhheeeggggghhhhh….” Rina menahan nafas ketika mendapat tekanan pertama dari penis Bima. Ia berusaha menahan nyeri.
“Sakit ya yang?”
“Iya, tapi nggak apa-apa.”
Bima tahu bahwa isterinya masih gugup, maka ia tidak meneruskan tekanan penisnya. Berdasarkan teori yang dia tahu, ia mencoba memberi rangsangan pada bagian tubuh yang lain. Payudara menjadi alternatif Bima. Lidahnya kembali memberikan rangsangan yang intensif.
Cukup lama Bima melakukan rangsangan di payudara Rina. Ia mencoba sabar, hingga Rina benar-benar merasa nyaman dengan benda asing yang memasuki vaginanya. Bima meneruskan hujaman penisnya setelah Rina benar-benar terangsang dengan menggoyang pinggulnya.
“Hheegghhh..”
Bima langsung mencium bibir Rina. Mereka berpagutan lagi. Seperti sebelumnya, Bima berusaha membantu isterinya menahan kesakitan. Rangsangan demi rangsangan di bagian tubuh lain menjadi cara Bima untuk mengalihkan kesakitan isterinya.
“Maaassss, terusin aja,” pinta Rina.
“Tahan ya,” Bima memberi aba-aba.
Sekali tekan, penis Bima amblas ke dalam vagina Rina. “Hhheeggghhhh. Aaaauuuu Mass…” Pekik Rina tertahan.
“Maaaf sayang. Sakit ya..”
“Iya perih.”
Wajah Rina menampakkan rasa sakit. Ia tak bisa memungkiri, benda keras telah mengoyak vaginanya. Terasa perih sekali, tapi ia bisa menahan. Rina beranggapan setiap perempuan pasti merasakan hal ini. Rasa perih tak akan bisa dihindari, termasuk nyeri saat datang haid.
Bima tahu, isterinya sedang menahan kesakitan, maka ia hanya mendiamkan penisnya di dalam vagina Rina. Ia terus merangsang Rina dengan rabaan di payudara Rina. Perasaan Bima berkecamuk. Satu sisi ia penasaran, satu sisi merasa tidak tega, sedangkan syaraf-syaratnya mengatakan bahwa birahinya benar-benar mendapatkan saluran yang selama ini dicari-cari. Ia menikmati kehangatan di penisnya ketika tertanam di dalam vagina Rina.
“Mas pelan-pelan ya,” pinta Rina.
“Iya sayang maaf ya.”
“Aku sayang kamu Mas.”
“Aku juga sayang kamu Na.”
Mereka kembali berciuman. Tangan Bima terus meraba payudara isterinya. Sampai ia merasa sudah cukup, perlahan-lahan ia menarik penisnya.
“Aaahhhhh…” Lenguh Wita.
Secara perlahan pula, Bima kembali menekan penisnya.
“Heeggghhh.” Terasa, bahwa pada hujaman kedua, vagina Rina terasa lebih licin. Mungkin karena cairan pelumasnya sudah benar-benar bercampur di kelamin mereka. Bima mengulang gerakan maju mundur penisnya secara perlahan. Ia tak mau isterinya seperti tersiksa.
Butuh beberapa waktu untuk menunggu lenguhan Rina berubah dari kesakitan menjadi kenikmatan.
“Ah, ahh, ahhh.” Kali ini lenguhan Rina tak lagi mengesankan kesakitan. Bima coba mempercepat hujamannya. Efeknya, lenguhan Rina semakin keras. “Maaaassssss…. Oohh…oohhh…oohh…”
Tiba-tiba saja Bima merasakan denyutan keras di di urat bahwa penisnya. Ia sebentar lagi akan mencapai orgasme. Maka instingnya mengarahkan Bima untuk mempercepat gerakannya. Puncaknya adalah ketika Bima menghujamkan penisnya dalam-dalam ke vagina Rina.
“Oohhhh….oohhh….oooohhhhh…. Hhhhhhh….”
Sperma Bima muncrat di dalam vagina Rina. Badan Bima terasa sangat ringan. Ia merasakan ketegangan di seluruh tubuhnya tiba-tiba hilang. Bahkan kekuatan untuk menopang tubuhnya juga terasa lenyap. Ia ambruk di atas tubuh Rina. Kini seluruh perasaan damai menyertai hati dan tubuhnya. Rasa cinta kepasa isterinya semakin dalam. Ia mengecup kening Rina dengan mesra. “Aku sayang kamu Na.”
Rina membalas kecupan itu dengan rengkuhan tangannya di punggung Bima. Ia memeluk Bima dengan erat. Ia tak mau kehilangan suaminya. “Aku juga Mas. Kita akan terus bersama sampai maut memisahkan kita Mas.”
“Iya sayang. Sampai kakek nenek.”
Posisi mereka tidak berubah hingga beberapa menit. Namun Bima sadar bahwa isterinya tertindih tubuhnya, hingga ia bergeser ke samping.
“Ternyata seperti itu ya Mas. Perih,” ujar Rina tiba-tiba. “Eh kamu kan perlu bukti, coba kita lihat ada darah gak,” tambah Rina.
Bima pun diminta untuk melihat vagina Rina. Ternyata bekas darah tak hanya tersisa di vagina Rina, tapi juga dipenis Bima dan menetes di sprei kasur.
“Tuh kan aku masih perawan. Sakit Mas,” ujar Rina.
“Iya, maaf ya sayang, jadi kesakitan.”
“Nggak apa-apa Mas, aku malah bahagia, bisa memberikan untuk kamu.”
“Eh, spreinya aku beli aja ah. Jangan dicuci. Buat kenang-kenangan kita. Mungkin suatu saat, aku dapat godaan dari perempuan lain. Kamu bisa kasih lihat sprei ini ke aku. Biar ingat, apa saja yang sudah kita janjikan di malam pertama kita. Eh bukan malam ya, pagi pertama kita, he he he…,” ujar Bima.
“Ada-ada aja, tapi ide bagus Mas. Cuma untuk kita aja ya. Kenangan untuk kita,” Rina setuju dengan ide suaminya.
Hari itu mereka kembali hanya ingin bermalas-malan di dalam kamar saja. Setelah sarapan, Rina melipat sprei kenangan mereka dan menyimpannya. Bima pun bernegosiasi dengan petugas housekeeper untuk mendapatkan sprei hotel itu. Mereka hanya keluar hotel untuk berjalan-jalan di pusat kota.
Kali ini keduanya sudah tidak canggung lagi untuk bergandengan tangan dan berangkulan di depan umum. Bahkan Rina selalu saja ingin dimanja oleh Bima. Mereka menjadi pasangan bahagia yang sebenar-benarnya.
“Mas, tadi jalan aku kaya orang ngegang gak?”
“Ngegang?”
“Iya, sedikit mengangkang.”
“Ooo, nggak emang kenapa?”
“Masih terasa, kaya masih ada yang ngeganjel. Perihnya juga masih ada nih. Kayanya lecet deh, nanti aku lihat kalo dah di hotel.”
“Aduh maaf ya sayang, jadi kesakitan gitu.”
“Iya, kamu sih, segede gitu dimasukin. Kalo aku tahu dari awal pasti aku tolak. Pas aku pegang, aku jadi sangsi, apa muat? Ternyata beneran, sakit banget.”
“Iya-iya, maaf ya. Sekali lagi maaf,” Bima sampai merasa tidak enak.
“Dari tadi maaf mulu. Belum lebaran tahu. Aku perih nih, susah jalan,” Rina tak malu-malu untuk manja.
“Terus gimana, mau digendong?”
“Emang kamu mau gendong aku?”
“Ya maulah. Tapi gendong depan menghadap belakang ya.”
“Ha ha ha, serius nih. Aku sakit jalannya.”
“Iya aku gendong, tapi kalo capek ngaso ya. Dari sini ke hotel gak sampai 500 meter kok.”
“Ntar orang-orang lihatin kita Mas.”
“Cuek aja, ntar kalo ada yang tanya, aku bilang penganten baru, lagi gak bisa jalan.”
“Iiiiihhh malu tahu.”
“Mau gak?”
“Iya deh. Tapi gak usah ngomong-ngomong penganten baru dong.”
“Iya, sini aku gendong.”
Bima dan Rina menikmati masa-masa bulan madu mereka. Perjalanan hidup mereka seakan seperti mimpi saja. Mereka sangat menyadari hal itu sebagai anugerah yang harus disyukuri. Sebelum ini, perjalanan jodoh mereka seperti terombang-ambing. Keduanya bahkan sempat pasrah dengan takdir jodoh mereka. Bima dan Rina tahu betul akan masa-masa seperti itu. Maka ketika semua doa mereka terjawab, tak ada keinginan lain kecuali mengucap syukur.
Satu minggu mereka berada di Yogyakarta. Berbagai tempat dikunjungi, mulai dari Borobudur, Prambanan, hingga pelosok-pelosok yang desa yang sebenarnya tak ada tempat wisata. Tapi perjalanan ke pelosok-pelosok itulah yang membuat Bima dan Rina menemukan pengalaman baru. Ketika tersesat, mereka harus mampu menemukan jalan pulang kembali. Di sanalah kebersamaan mereka diuji.
“Kamu kok gak minta lagi Mas? Hebat ya,” ujar Rina dalam perjalanan ke Bali.
“Minta apa?”
“Minta itu…”
“Itu apa?” Bima penasaran.
“Itu loh, sprei…”
“Oooo sprei kenangan, he he he…. Mau sih, tapi aku gak tega kalau kamu kesakitan begitu. Aku bisa tahan kok. Nanti aja kalo kamu dah hilang sakitnya,” ujar Bima.
“Aku kira, laki-laki pikirannya cuma soal itu doang, gak juga ya?”
“Ya kalau mau terus terang sebenarnya aku memang ingin terus, tapi ya itu tadi, aku masih bisa tahan, gak tega kalau kamu malah kesakitan. Seks itu, menurutku, adalah sesuatu yang indah, wujud dari cinta. Makanya aku kira ada baiknya kalau aku berusaha menguatkan cinta kita lebih dalam lagi,” Bima kali ini coba berfilosofi.
“Memangnya kurang dalam Mas? Aku kira cukup kok, buat permulaan,” ujar Wita. “Sampai berdarah-darah lagi,” sambungnya sambil bercanda.
“Ha ha ha, kasihan ya kamu,” ujar Bima.
“He he he.”
Perjalanan dari Yogya ke Banyuwangi ditempuh dalam 12 jam melalui jalur selatan. Mereka benar-benar menikmati perjalanan. Tak hanya pemandangan, tapi juga kebersamaan. Bima dan Rina tahu, suatu saat nanti, perjalanan ini akan jadi kenangan yang tak terlupakan. Bahkan mungkin kelak punya anak, mereka sudah berencana melakukan perjalanan itu lagi bersama anak mereka.
“Mas, nanti kalau sudah masuk Bali, biar aku saja yang bawa mobil, kamu bisa istirahat dulu. Gak jauh kan dari Gilimanuk ke Denpasar,” ujar Rina ketika mobil mereka sudah naik di atas ferry menyebrang Selat Bali.
“Nggak, paling lama empat jam. Jadi perkiraannya bisa sampai Denpasar tengah malam. Bisa langsung check in di hotel,” ujar Bima.
Satu jam mereka terombang ambing bersama ferry yang mengangkut mereka. Sampai akhirnya tiba di Gilimanuk. Setelah ferry benar-benar menyandar di pelabuhan, mereka pun meneruskan perjalanan. Kali ini Rina yang mengemudikan mobil. Bima hanya memberi instruksi seputar jalan, dan ia meminta izin untuk tidur sebentar.
Tak seperti jalanan di Jawa, di Bali jalanan cenderung lengang. Rina sebenarnya agak khawatir dengan kondisi jalan yang gelap dan kiri kanannya masih hutan belantara. Seumur-umur ia tak pernah mengemudikan mobil di luar kota, dengan kondisi jalanan yang gelap. Apalagi teman seperjalanannya sedang tidur. Tapi ia berusaha menenangkan diri, bahwa dia berada di Bali, di mana mayoritas penduduknya relatif lebih ramah di banding warga Jakarta.
Tiba-tiba saja Rina melintas wilayah yang sedang hujan deras, mau tidak mau ia mengurangi laju kendaraannya. Jarak pandangnya mulai terbatas. Ia berusaha menghibur diri dengan lagu-lagu kesayangannya. Sampai akhirnya Rina terpaksa membangunkan suaminya. Ia menyadari kalau sudah tersesat.
Ia keluar dari jalan utama yang menghubungkan Gilimanuk-Denpasar. Jalanan yang dilewatinya tak lagi beraspal mulus, tapi berupa batu-batuan yang semakin lama semakin menyempit. Di kanan-kiri mereka masih hutan yang gelap, hanya lampu mobil mereka yang memberikan cahaya di tengah hutan yang diguyur hujan deras.
“Maaasss bangun Mas. Kayaknya aku tersesat nih. Gak tahu sampai di mana,” Rina panik.
“Hmm. Tersesat ya. Coba aku lihat,” Bima berusaha tenang dan mengamati keadaan. Ia tak tahu apa-apa, tapi coba mencocokan kondisi sekitarnya dengan petunjuk di peta. Bima menduga kalau mereka masih berada di kawasan Bali bagian barat.
“Hhmm putar balik aja kalo gitu,” ujar Bima tenang. Namun sampai sepuluh menit Rina mencari celah agar mobilnya bisa putar balik, mereka malah terus masuk lebih jauh. Mereka melihat cahaya pelita di kejauhan, pertanda ada kehidupan manusia di sekitar wilayah itu. Dan tak beberapa lama, mereka menemukan jalan yang lebih lapang untuk memutar balik kendaraan mereka.
Rina langsung memutuskan untuk memutar kendaraannya dan kembali ke jalan utama. Hanya saja sebelum mereka benar-benar bisa memutar, dua ban belakang mereka terperosok ke tanah yang lembek. Semakin menekan pedal gas, malah membuat mobil mereka terjebak. Ban mereka terperangkap lumpur.
Sadar kalau ada situasi genting, Bima keluar dari mobil dan berusaha untuk mengangkat mobilnya. Di tengah derasnya hujan, ia memasukkan batu-batu ke lubang tanah agar bannya memiliki pijakan yang kuat. Tapi usaha itu sia-sia, tanah di sisi jalan itu terlalu lembek untuk menopang berat mobil Bima yang besar. Sampai Bima kehabisan batu di sekitarnya, mobilnya masih terjebak.
“Sayang, batunya habis. Aku cari batu di sebelah sana dulu ya,” ujarnya kepada Rina.
Rina khawatir, jika usaha yang dilakukan suaminya tidak membuahkan hasil, apa yang harus mereka lakukan? Mungkin salah satu dari mereka harus mencari pertolongan, karena di depan sana ada cahaya pelita dan berharap saja rumah penduduk.
“Selamat malam Gek,”sebuah suara mengagetkan Rina di tengah gemuruh derasnya hujan. Tiba-tiba saja, di sampingnya sudah berdiri seorang bapak tua bertelanjang dada dan membawa daun pisang untuk memayungi kepalanya.
Rina kaget tak bisa berkata apa-apa. Ia takut sekali, sampai-sampai ia mengira laki-laki itu hantu. Tapi kemudian ia melihat seorang remaja yang juga bertelanjang dada namun tidak membawa daun pisang. Rina merasa lega, ketika melihat senyum di orang tua itu.
“Ma ma malam Pak,” ujar Rina gugup. Ia mencoba mencari Bima, tapi suaminya tidak terlihat. Orang tua itu kemudian berpaling ke arah lain, dan mengangguk. Rupanya ia memberi anggukan kepada Bima yang datang sambil membawa batu.
“Kenapa mobilnya Bli? Terperosok?,” ujar bapak tua itu hangat.
“Iya Pak, kami tersesat. Mau kembali ke jalan utama malah terperosok.”
“Oooo boleh kami bantu?” Bapak tua itu menawarkan pertolongan yang diiyakan Bima.
Mereka pun kemudian berusaha mengeluarkan mobil Bima dari lubang itu. Namun tiga orang lelaki ternyata tidak berhasil membuat mobil keluar dari lumpur. Sampai akhirnya, bapak tua itu menyuruh anaknya untuk kembali ke rumah mengambil dua kerbau mereka. Dengan dua tenaga kerbau, mereka berharap bisa menarik mobil itu dari lumpur. Ternyata memang benar, kedua kerbau itu berhasil menarik mobil Bima.
“Terima kasih Pak, terima kasih banyak,” ujar Bima.
Rina yang merasa sudah ditolong ingin memberikan imbal balik, namun ia tak punya sesuatu yang bisa diberikan kecuali uang. Ia pun memanggil anak bapak tua itu dan memberikan sejumlah uang. Tapi anak itu menolaknya.
“Tidak ibu, tidak usah,” ujarnya halus.
Si bapak pun menyetujui tindakan anaknya. Bahkan ia mengajak Bima dan Rina untuk mampir sebentar ke rumahnya, sekadar untuk membersihkan diri karena Bima sudah belepotan lumpur dan kuyup oleh air hujan.
Tidak ada alasan yang membuat mereka menolak ajakan itu. Sekilas bapak dan anak itu adalah orang baik, sehingga Bima dan Rina tidak perlu memberi rasa curiga berlebihan. Hanya mungkin perjalanan mereka ke Denpasar akan menjadi molor.
“Silahkan masuk Bli, ini rumah kami. Sederhana tidak seperti hotel di Denpasar atau Kuta, tapi kalau Bli dan Gek mau, silahkan menginap di sini. Besok baru melanjutkan perjalanan ke Denpasar,” ujar bapak itu.
Rumah itu sederhana namun terlihat bersih. Di terasnya sudah tersedia dua gelas teh hangat. Bapak itu kemudian berteriak meminta isterinya membuatkan dua teh lagi karena ada tamu. Dengan sigap, sang isteri menuju teras menyambangi tamu mereka. Bima dan Rina pun akhirnya berkenalan dengan sang penolong. “Bli Bima minum tehnya saja duluan, kasihan badannya kedinginan. Biar bisa langsung mandi, salin,” ujar bapak tua yang diketahui bernama Wayan itu.
Sambil menunggu Bima selesai mandi, Pak Wayan dan isteri menemani Rina ngobrol. Rina bercerita tentang mereka yang masih pengantin baru dan sedang melakukan liburan ke Bali. Pak Wayan dan isteri hanya senyum-senyum saja mendengarnya.
Pak Wayan juga menceritakan tentang keluarganya. Mereka adalah petani dengan dua anak. Yang pertama, yang membantu Bima dan Rina adalah Puja, baru kelas satu SMA. Sedangkan adiknya, Putu, baru kelas enam SD. Keluarga mereka sederhana, hanya mengandalkan pertanian saja. Tapi Pak Wayan mengaku tak pernah kekurangan, selalu ada rezeki saat ada keperluan mendesak.
Saat Bima sudah selesai mandi dan berganti baju. Bu Wayan membujuk Bima dan isterinya unuk menginap. Kebetulan di samping rumah mereka ada empat bagunan-bangunan rumah panggung dari kayu yang disiapkan untuk tempat menginap sementara. Rumah panggung itu hanya terdiri dari kamar tidur dan kamar mandi.
Bu Wayan menjelaskan bahwa bangunan itu memang dipersiapkan untuk tempat menginap, karena mereka sering didatangi saudara dari wilayah lain. Bima dan Rina pun akhirnya menyetujui hal itu. Perjalanan mereka ke Denpasar harus tertunda, dan kini ditampung oleh sebuah keluarga sederhana di tengah hutan.
Bu Wayan segera menyiapkan salah satu rumah panggungnya. Sedangkan Bima mengambil beberapa barang yang dibutuhkan dari mobil. Rina yang menemani Bu Wayan membereskan rumah panggung itu sangat terkesima. Awalnya ia membayangkan sebuah gubuk reyot yang kotor, namun ternyata rumah panggung itu sangat bersih dan nyaman.
“Silahkan Gek Rina, begini keadaannya, mudah-mudahan betah,” ujar Bu Wayan.
“Ini sudah luar biasa Bu. Saya bisa menumpang tidur di sini,” balas Rina.
Setelah selesai membereskan kamar itu, Bu Wayan melakukan doa di kamar itu. Menurut Bu Wayan agar yang tidur di kamar ini diberikan berkah dan dijauhkan dari cobaan.
Bima yang datang kemudian mengucapkan terima kasih kepada Bu Wayan yang sudah selesai berdoa. Ia juga mengagumi interior kamar itu.
“Kalau ini mah bersih, nyaman, jangan-jangan kita malah betah di sini,” ujar Bima.
“Bisa jadi Mas, he he he,” balas Rina.
Malam itu mereka tidur pulas. Meski kasurnya tidak seempuk kasur hotel, tapi cukup untuk membuat mereka melepas lelah. Tidak ada nyamuk mengganggu meski mereka berada di tengah hutan. Bima dan Rina harus tidur berpelukan di dalam selimut karena udara malamnya sangat dingin. Untuk tinggal di tempat itu, Pak Wayan dan keluarga tidak butuh AC.
Bima dan Rina bangun setelah sinar matahari terang benderang. Keduanya merasa sungkan karena bangun kesiangan. Rina langsung ke luar ketika melihat Bu Wayan sedang membersihkan pekarangan.
“Eh pengantin baru sudah bangun..?” Sapa Bu Wayan.
“Ah ibu bisa aja, jadi malu,” ujar Rina.
“Capek ya?” Tanya Bu Wayan dengan kesan menggoda.
“Iya capek bu, sampe tidurnya pulas, nggak ngapa-ngapain,” balas Rina dengan canda.
“Ha ha ha. Itu ada sarapan, mudah-mudahan Gek Rina sama Bli Bimanya mau,” ujar Bu Wayan.
“Kok repot-repot Bu,” ujar Rina sambil mengikuti Bu Wayan ke rumahnya mengambil sarapan.
“Ah gak repot, biasanya juga bikin sarapan. Tapi seadanya ya,” balas Bu Wayan.
Bu Wayan membuat jagung marning rebus yang ditaburi parutan kelapa muda dan gula pasir. Meski bukan nasi, tapi jagung itu cukup mengenyangkan sebelum beraktivitas.
Rina pun mengajak suaminya ikut sarapan bersama di saung yang ada di pekarangan keluarga Wayan. “Ibu makasih banyak sudah membantu kami, sekarang malah dikasih sarapan,” ujar Bima.
“Gak apa-apa. Biasa kok, tapi cuma jagung ya, gak ada makanan mewah,” ujar Bu Wayan.
“Ini juga mewah Bu,” balas Bima.
Bu Wayan menemani Bima dan Rina sambil sarapan. Bima sangat berterima kasih dengan pertolongan keluarga Wayan sejak semalam hingga saat itu. Bima pun menyatakan ingin meneruskan perjalanan ke Denpasar. Namun Bu Wayan berpesan untuk tinggal beberapa hari di tempat mereka jika berkenan. “Mungkin tempatnya kurang bagus ya, kurang nyaman?” Tanya Bu Wayan.
“Bukan itu Bu, kalau kelamaan di sini malah gak enak Bu, ngerepotin,” ujar Bima.
“Bapak tadi pesan, supaya Bli Bima dan Gek Rina mau beberapa hari tinggal di sini, baru nanti ke Denpasar,” ujar Bu Wayan.
“Eh Bapak mana Bu?” Bima sadar hanya ada Bu Wayan di rumah itu.
“Bapak sudah ke sawah, anak-anak ke sekolah. Apa Bli Bima mau ketemu Bapak? Nanti saya antar ke sawah, sekalian antar makan siang,” ujar Bu Wayan.
“Boleh bu,” ujar Bima.
“Saya tinggal dulu ya, saya mau beres-beres rumah dulu. Kalo ada apa-apa panggil saja ya,” ujar Bu Wayan.
Sepeninggal Bu Wayan, Rina dan Bima menikmati sarapan pagi alakadarnya. Mereka terpesona dengan lingkungan sekitar rumah keluarga Wayan. Semalam mereka hanya tahu kalau mereka berada di tengah hutan. Ternyata rumah keluarga Wayan berada di pinggir hutan. Tepatnya di lereng bukit yang landai, tak heran kalau udaranya sejuk.
Saung yang dibangun Pak Wayan berada pinggir rumahnya, menjadi tempat paling tepat untuk menikmati pemandangan lembah yang indah. Hamparan sawah menghijau di bawahnya. Terasering tersusun rapi, meski tidak dengan pola yang simetris. Di bagian paling bawahnya mengalir kali yang airnya deras. Rina bahkan merasa terpesona dengan pemandangan itu.
“Bagus ya Mas, gak kalah sama di Ubud,” ujarnya.
“Iya, beberapa kali ke Bali, ternyata di sini ada tempat yang indah. Sepi lagi, mungkin cuma beberapa orang saja yang tahu,” ujar Bima.
“Iya, Mas. Biasanya aku kalo ke Bali paling ke Kuta, Ubud, Kintamani, Ulu Watu. Ini belum pernah. Apa kita terima saja tawaran Pak Wayan Mas, kita di sini dulu,” tanya Rina.
“Aku sih gak apa-apa, kamu mau? Tapi jangan lama-lama ya, tiga hari aja, gak enak lama-lama. Nanti jadi ngerepotin,” ujar Bima.
“Iya Mas,” ujar Rina.
Siang hari, mereka bertiga bertemu dengan Pak Wayan di sawah sambil makan siang bersama. Bima kembali mengucapkan rasa terima kasih kepada Pak Wayan. Atas pertolongannya, Bima dan isterinya tidak jadi terjebak di dalam mobil. Padahal menurut Bima, jika semalam ia tidak berhasil mengatasi masalahnya ia akan bermalam di dalam mobil dengan segala resikonya.
Pak Wayan hanya tersenyum dan mengajak mereka untuk tinggal di rumahnya beberapa hari lagi. Ajakan itu disetujui Bima, hanya saja ia berharap keluarga Pak Wayan tidak direpotkan dengan kehadiran dia dan isterinya.
“Tak ada yang direpotkan kalau keinginan yang muncul adalah untuk kebaikan bersama,” ujar Pak Wayan.
Pak Wayan pun menceritakan tentang banjarnya yang terkesan terpencil. Menurut Pak Wayan, ada jalan yang lebih mudah untuk menuju rumahnya dibanding jalan yang ditempuh Bima semalam. Hanya saja memang tidak bisa dilalui mobil. Ia bercerita ada jalur setapak melintas sawah untuk sampai di pemukiman penduduk. Jalur itu biasa dilewati Puja dan Putu jika akan berangkat sekolah. Selanjutnya mereka akan naik motor yang dititipkan di tetangga yang rumahnya di pinggir jalan.
Pak Wayan memilih rumah tepat berada di pinggir hutan karena memang ia adalah seorang pecalang yang tugasnya menjaga hutan. “Jangan berpikir yang aneh-aneh, tidak ada yang dikeramatkan secara berlebihan di hutan ini, he he he,” ujar Pak Wayan ketika Rina menyinggung hal mistis.
“Dulu orang tua memang membumbui cerita mereka dengan hal-hal mistis, tapi sebenarnya hal itu agar kita patuh pada nasehat mereka. Pendekatan saya sekarang tidak seperti itu, meski saya tetap percaya ada kekuatan lain di luar kekuatan manusia. Tugas saya adalah menjaga keseimbangannya,” jelas Pak Wayan.
Bima coba memahami bahwa ia kini berhadapan dengan orang yang sangat arif, yang hidupnya sudah memiliki fungsi yang jelas, dan menerima jalannya dengan ikhlas.
“Tapi pasti Pak Wayan punya kemampuan batin ya, sampai dipercaya sebagai pecalang menjaga hutan,” kejar Rina.
“He he he, itu gak perlu saya jawab Gek. Gak penting,” ujar Pak Wayan bercanda. Ia memang sengaja menutupi bahwa beberapa hari sebelumnya, Pak Wayan mendapat firasat akan kedatangan tamu besar. Tamu yang akan membawa perspektif berbeda.
Sebaliknya, Pak Wayan pun mengerti siapa tamunya kali ini. Mereka adalah orang-orang dengan hati yang bersih dan tulus. Yang memiliki jiwa besar dan mau menjalani hidupnya dengan ikhlas. Pak Wayan menerka, suatu saat tamunya itu akan melakukan pekerjaan besar yang memberikan kebaikan untuk orang banyak.
“Saya berharap Bli Bima dan Gek Rina mau tinggal di rumah saya barang beberapa hari. Saya senang ada tamu, karena bisa bertukar pikiran. Apalagi Bli Bima dan Gek Rina orang terpelajar, berbeda dengan saya yang belajar dari alam,” ujar Pak Wayan.
“Eh ngomong-ngomong mau punya anak berapa? Lima, tujuh, delapan? Ha ha ha,” Pak Wayan mengubah suasana jadi santai.
“Ha ha ha,” Bima tertawa keras. Dalam hati jangankan anak, membuatnya saja masih dalam proses belajar. “Belum kepikiran Pak, belum dua minggu nikahnya,” ujar Bima sekenanya.
“Ha ha ha ha, memang nikmati dulu masa bulan madunya. Pacaran dulu, kuatkan dulu ikatan batinnya, nanti dengan sendirinya Tuhan akan mengabulkan harapan kita,” ujar Pak Wayan.
“Pacaran dulu? Maksudnya Pak?” tanya Rina penasaran dengan pernyataan Pak Wayan.
“Ya pacaran dulu. Kalian kan belum pacaran, tiba-tiba langsung menikah. Tiga bulan bertemu terus sepakat menikah. Memang ada baiknya pacaran dulu, biar indah,” canda Pak Wayan.
Kini giliran Rina dan Bima yang bingung, karena selama mereka ngobrol dengan Pak Wayan dan isterinya mereka tidak pernah menceritakan tentang proses perkenalan hingga sampai akhirnya menikah. “Kok bisa tahu Pak,” tanya Rina bingung.
“Ah gak penting Gek. Yang penting Bli dan Gek sangat bahagia, karena sudah bertemu jodohnya kan. Nah kalo ngomongin soal anak mending Gek Rina ngobrol sama Ibu, dia pasti punya banyak nasehat tuh,” canda Pak Wayan.
“Ah Bapak, malu tahu. Biar urusan perempuan aja nanti,” sergah Bu Wayan.
“Ha ha ha ha,” mereka tertawa bersama.
Mereka pun meneruskan obrolannya hingga matahari tergelincir ke arah barat. Setelah itu, Bima menemani Pak Wayan di sawah, sedangkan Rina ikut kembali ke rumah menemani Bu Wayan melakukan pekerjaan rumah.
Itulah pengalaman baru mereka. Selama ini Bima dan Rina tak pernah tahu pekerjaan yang paling sederhana dalam sebuah keluarga. Mereka bisa belajar bagaimana pembagian tugas antara suami dan isteri untuk menjamin kelangsungan hidup mereka. Juga kelangsungan cita-cita mereka.
Bima belajar apa artinya bekerja keras, membanting tulang. Benar-benar mengandalkan kekuatan fisiknya, sedangkan Rina belajar bagimana menjadi pendamping, menjadi ratu di dalam rumahnya.
Hingga sore mereka akhirnya bertemu lagi. Setelah membersihkan diri, mereka berempat kembali terlibat dalam pembicaraan santai di saung. Bu Wayan menghidangkan camilan khas dan minuman tradisional banjar mereka. Suasana semakin hangat dengan kehadiran Putu yang beranjak remaja.
Mereka baru berhenti ketika matahari mulai terbenam seluruhnya. Pak Wayan mempersilahkan mereka untuk kembali ke dalam kamar rumah panggung sampai makan malam. Dan saat makan malam, mereka kembali terlibat dalam obrolan, hanya saja kali ini tidak lama. Pak Wayan maklum jika tamunya kelelahan akibat ikut bekerja di sawah.
“Wah capeknya. Aku baru tahu bagaimana susahnya kerja di sawah. Kayanya badanku mau rontok semua nih,” ujar Bima sambil rebahan di kasur kamar mereka.
“Mau dipijit?” Tanya Rina.
“Kamu mau pijitin aku?”
“Ya maulah, kamu kan suamiku,” ujarnya penuh rasa sayang.
“Asyik..”
“Ya udah buka kaos sama celana pendekmu, biar gampang pijitnya,” ujar Rina.
“Buka kaos dan celana? Ini mau pijit apa “pijiiit”,” canda Bima.
“He he, udah buka aja dulu. Aku pijitin, nanti kalo ada efek lain kita tanggung bersama, he he he,” balas Rina.
Bima pun tertawa dengan candaan isterinya. Semakin lama ia merasakan isterinya adalah orang yang tepat mendampingi hidupnya. Setelah menuruti permintaan isterinya, Bima tengkurap di atas kasur. Jari-jari Rina pun terasa menyentuh tubuhnya.
Sambil dipijit, Bima menceritakan tentang kegiatannya di sawah. Ia juga memberi informasi tambahan tentang Pak Wayan yang tidak didengar Rina. Sedangkan Rina bercerita tentang kegiatannya membantu Bu Wayan.
Rina bercerita bahwa ia menceritakan tentang hubungan mereka kepada Bu Wayan, termasuk proses pernikahannya. Rina juga bercerita bahwa tadi sore ia dipijat oleh Bu Wayan. Dan anehnya, Bu Wayan bisa menerka kalau dia baru sekali melakukan hubungan seks.
“Aku kaget Mas, dia bisa tahu. Tapi kemudian aku malah dapat masukan banyak. Aku dapat banyak ilmu he he he,” ujar Rina.
“Ilmu apaan?” tanya Bima.
“Ilmu di atas ranjang he he he,” goda Rina.
“Ha? Wah aku jadi kepengen nih,” Bima mulai berani memancing. “Eh tapi kayanya aku capek Na, tadi di sawah kerja berat. Takutnya malah gak bagus,” tambah Bima.
“Ah seharusnya nggak. Tadi aku dikasih tahu. Kegiatanmu di sawah sebenarnya malah membantu fisikmu lebih kuat. Pak Wayan pasti meminta kamu melakukan beberapa pekerjaan kan, katanya itu bagus untuk latihan nafasmu, biar panjang, tidak cepat ngos-ngosan. Nah yang paling penting, makanan yang kita makan tadi sengaja dibuat untuk membantu stamina kita. Aku ikut membuatnya loh, jadi aku tahu cara bikinnya nanti-nanti,” jelas Rina.
“Wah makin gak sabar nih Na,” Bima mulai gelisah karena hanya dengan mendengar ceritanya saja ia sudah terangsang.
“Yuk kita coba Mas. Aku salin dulu ya. Kamu sabar,” ujar Rina meninggalkan Bima menuju kamar mandi.
Keluar dari kamar mandi, Rina hanya membebatkan tubuhnya dengan kain saja. Ia tak ubahnya perempuan desa yang ingin mandi di sungai. Kainnya menutupi pangkal payudara hingga bagian atas pahanya. Bima yang terbaring terlentang terpesona dengan pemandangan itu. Rina tak ubahnya perempuan desa yang sederhana, cantik, dan seksi.
Rina mengambil sebuah tembikar seperti tungku kecil. Di bagian atas tembikar itu ada wadah untuk menampung cairan, sedangkan di bawahnya ada tempat untuk menaruh lilin. Saat lilin dinyalakan, maka akan memanaskan minyak di atasnya, dan tak lama kemudian tercium bau wangi.
“Itu apa sayang?” Tanya Bima.
“Ini sejenis minyak aroma. Kata Bu Wayan ada warga di sini yang khusus membuatnya. Wanginya bikin kita rileks, sekaligus bikin serangga pergi. Orang di sini biasa memakai untuk semadi, berdiam diri, atau yoga. Aku disarankan untuk membakar ini kalau mau tidur atau mau berhubungan sama kamu. Biar rileks,” ujar Rina.
“Ooooo.”
Rina kemudian menghampiri suaminya yang sudah terlentang di atas kasur. Sekilas ia melihat tonjolan di bagian depan celana dalam Bima. Rina pun menggoda dengan mengelus tonjolan itu. “Belum apa-apa, bim-bim dah bangun,” godanya.
Ia kemudian coba mempraktekkan anjuran Bu Wayan. Pertama-tama ia mengecup bibir Bima dengan lembut. Kecupan itu untuk mewakili rasa sayang pada pasangan. “Semua perlakuan kita harus disertai rasa di dalam hati. Meski di dalam hati, pasangan kita pasti bisa merasakannya.
Jangan biarkan perasaan kita kosong ketika kita melakukan satu tindakan, itu malah akan membuat pasangan kita hanya merasakan rasa dirinya sendiri. Jika hal itu terus terjadi, maka yang ada hubungan seks menjadi hambar. Itulah pentingnya rasa, karena akan menguatkan batin pasangan. Dan itu kenapa hubungan seks sering disebut sebagai nafkah batin,” Rina teringat pesan Bu Wayan.
Itu kenapa kecupan lembut Rina mendapat sambutan hangat dari Bima. Bima membalas dengan lembut dan penuh kemesraaan. Dan selanjutnya, kemesraan itulah yang memancing rangsangan untuk meningkat lagi. Rina pun mengecup lebih keras, dan menyentuhkan lidahnya. Hingga mereka berpagutan.
“Biarkan saja birahimu keluar. Jangan dibatasi. Birahi adalah salah satu bentuk rasa. Tapi rasa harus dilandasi oleh cinta. Kamu sudah punya cinta, itu awal yang sangat bagus,” penjelasan Bu Wayan masih terngiang dalam ingatan Rina.
Rina kini menggunakan lidahnya untuk meraba seluruh wajah Bima. Namun perlahan lidahnya turun ke leher dan berhenti di dada. Di sana Rina berusaha memancing Bima dengan jilatan-jilatan kecil di bagian putingnya. “Puaskan birahimu di tempat yang kamu sukai. Biarkan dia mengetahuinya, karena dia akan merasa senang dengan apa yang dia miliki. Beri kesempatan kepada pasanganmu untuk memiliki kehebatannya, setiap orang senang memuji dirinya sendiri.”
Jilatan di puting Bima memang tidak memberikan rangsangan berarti, selain rasa geli. Namun itu memberikan efek lain, Bima merasa apa yang dilakukan isterinya memiliki sensasi tersendiri. Baru kali ini ada perempuan yang berusaha menyenangkan dirinya hingga harus melakukan itu.
Tapi itu belum seberapa, jika Bima tahu apa yang akan dilakukan Rina selanjutnya. Puas menjilati dada suaminya, Rina mengarahkan lidahnya terus ke bawah. Saat tiba di pusar, lidah Rina memutar lubangnya. Tak hanya itu, tangannya mulai mengelus-elus penis Bima yang masih bersembunyi di balik celana dalam. Penis Bima yang mengeras mendapat belaian mesra.
“Buka ya Mas?”
“Iya Na,” ujar Bima cepat.
Rina langsung melucuti satu-satunya pakaian suaminya yang masih tersisa. Rina sempat kaget ketika melihat penis suaminya yang sudah membesar dan mengacung ke atas. Ia bahkan sempat menutup mulutnya.
“Kenapa sayang?” Bima menyadarkan Rina.
“Besar sih Mas. Aku pernah lihat di film porno, ternyata memang aslinya seperti ini ya,” ujar Rina takjub.
Sesaat ia lupa apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Rina memperhatikan penis suaminya. Ia melihat bentuknya, kulitnya yang berurat, serta rambut-rambut di sekitarnya. Rina juga memperhatikan buah zakarnya yang mengelantung di bawah.
“Kamu ngapain sayang?” Bima penasaran.
“Sebentar sayang. Aku lagi ngeliatin punya kamu. Bentuknya begini ya. Kalo aku pegang begini sakit gak?” Tanya Rina.
“Hhhmmmm…gak sakit. Malah enak,” ujar Bima polos.
Rina kembali memperhatikan bentuk penis suaminya. Namun Bima meminta dirinya agar menyentuh penisnya lagi. “Sayang diusap lagi dong,” ujarnya.
Kali ini Rina tak mengusapnya, tapi menjilati penis Bima. Dari ujungnya hingga ke pangkal bawahnya. “Aaahhhh…. Kamu ngapain sayang..” Bima merasakan sensasi yang luar biasa saat Rina menjilati penisnya. Ternyata masih masih ada yang lebih luar biasa, gumam Bima.
Rina puas menjilati penis Bima hingga penis yang kecoklatan itu penuh dengan air liurnya. Ia pun melangkah ke tahap berikutnya, memasukan penis Bima ke dalam mulutnya. “Ooooohhhhh….sayang…” Lenguh Bima yang merasa dirinya terbang ke awan.
Rina benar-benar mengikuti petunjuk Bu Wayan. “Lepaskan semua yang membelenggu, ini adalah cinta bukan sekadar birahi. Seks adalah wujud cinta. Jangan terpaku pada nama dan nilai. Ini adalah soal rasa dan perasaan. Bimbing suamimu memiliki cinta seperti cinta yang kamu miliki.”
Wejangan itu yang mendorong Rina berani mengulum penis suaminya. Selama ini ia tidak pernah membayangkannya. Jangankan mengulum dan memegang, melihatnya dengan seksama saja baru sekali. Rina melepaskan kesan jijik dan takut. Ia malah ketagihan melumat penis suaminya. Seakan-akan ia sedang makan es krim yang tak pernah habis.
Bima melenguh semakin kencang. Ia tak percaya mulut isterinya sedang mengoral penisnya. Sensasinya luar biasa. Rangsangan itu membuat Bima seperti tak kuasa dengan birahinya. Setiap kali bibir Rina turun naik mengurut penisnya, Bima merasakan kenikmatan yang luar biasa.
Sejenak Rina menghentikan aksinya. Ia ingin melihat hasil kerjanya. “Enak Mas?” Tanyanya.
“Banget. Ini pelajaran dari Bu Wayan juga?” Tanya Bima.
“Iya. Mau lagi Mas?”
“Untuk sekarang cukup dulu sayang. Sekarang gantian, aku mau manjain kamu,” ujar Bima.
Bima pun bangkit. Memeluk tubuh isterinya sambil duduk. Mereka berpagutan. “Kamu tahu gak sayang, kalau kamu cantik sekali. Kamu bidadariku,” ujar Bima saat melepas pagutannya. “Sekarang ajari aku, apa yang harus aku lakukan,” tambah Bima.
“Coba Mas lakuin seperti yang aku lakukan tadi,” pinta Rina sambil melepas kainnya.
Saat kain Rina terlepas, tubuhnya tidak tertutup apapun. Bima kembali terpesona, apalagi Rina kemudian rebah terlentang. Bima sangat memuji tubuh isterinya. Kulitnya yang putih dan halus, lekuk luarnya yang aduhai, serta payudaranya yang proporsional. Bima mengagumi payudara Rina yang masih kenceng. Namun yang paling dikagumi dan dihormatinya adalah wilayah sekitar vagina Rina.
Sejak ‘pagi pertama’ di Yogya kemarin, Bima sangat menghormati bagian tubuh itu. Sebenarnya bagi Bima bukan soal perawan atau tidak perawan, tapi hal itu adalah bukti keteguhan Rina mempertahankan nilai yang dianggapnya benar. Dan itu bukanlah sebuah hal yang mudah di zaman seperti ini.
Bima memposisikan tubuhnya di atas Rina. Ia mulai mencium bibir Rina dengan lembut, sama seperti yang dilakukan kepadanya. Ia pun meneruskannya dengan mengusap wajah Rina menggunakan lidahnya. Hampir seluruh wajah Rina tak lepas dari usapan lidahnya. “Aaahhh…” Rina melenguh ketika lidah Bima menyentuh telinga kirinya. Lenguhan itu menjadi petunjuk untuk mengintensifkan jilatan lidahnya di tempat itu. Rina kembali melenguh. Bima berimprovisasi dengan memberikan gigitan-gigitan kecil. Rina kegelian, tapi ia meremas kepala Bima. Puas dengan telinga kiri, Bima berpindah ke kanan. Hal yang sama pun terulang lagi.
Kini lidah Bima beranjak ke bawah. Ia menelusuri leher Rina yang jenjang. Rina melenguh lagi. Ingin rasanya ia menandai leher itu dengan cupangan, namun Bima ragu melakukannya. Ia mengganti keinginannya itu dengan mengaktifkan tangannya. Tangan Bima mulai meraba payudara kanan Rina. Bima menggunakan jarinya untuk menyentuh payudara Rina. Ia tahu bahwa bagian itu adalah salah satu bagian sensitif perempuan, maka ia tak mau terburu-buru dan coba memancing Rina.
Sambil menjilati lehernya, jari Bima melingkari payudara Rina. Jarinya mengikuti lingkar luar payudara Rina yang menantang. “Aaaahhhh… Mass…” Lenguh Rina. Tangan Rina pun mengusap rambut Bima.
Rabaan tangan Bima membuat gairah Rina terpancing. Rina kini memegang tangan Bima untuk menyentuh payudaranya lebih intensif lagi. Rina ingin tangan Bima yang lebar meraup payudaranya. Bima tak kuasa menolak itu, karena ia memang menginginkannya juga.
“Aaaahhhhh…Mass….,” lenguh Rina saat tangan suaminya meraup payudaranya. Putingnya yang menonjol tertekan saat Bima meremasnya. Berkali-kali Bima meremas payudara Rina, kiri dan kanan berulang-ulang. Ia bahkan melepaskan lidahnya dari lehernya, dan menggunakan kedua tangannya untuk mengerjai payudara Rina, kiri dan kanan secara bersamaan. Hasilnya, leguhan yang tiada henti. “Ooohhhh…oohhh…ooohhhh..”
Bima puas melihat isterinya mendapatkan kenikmatan. Wajah Rina menggeleng ke kiri dan kanan. Matanya terpenjam menikmati kenikmatan itu. Namun Bima merasa belum maksimal, ia mengganti tangannya dengan lidahnya.
Kini rangsangan muncul lewat sapuan lidah Bima. Lidahnya juga menyapu dari pinggir luar ke bagian tengah. Perlahan namun pasti lidahnya mendaki bukit isterinya. Saat akan mencapai puncak bukit, Bima coba mengitari lingkaran hitam di sekitar putingnya. “Aaaaaahhhhh….Maaassss…”
Rintihan yang keras itu membuat Bima menjilat puting Rina. Rina terkejut dengan pelakuan itu, badannya melengkung. Bima menambah serangannya lagi, ia menghisap puting isterinya. “Ooooohhhhh…Mas Bimaku….enak Mas, terus dihisap Mas,” Rina mulai berani meminta.
Puas dengan puting kiri, Bima pindah ke kanan. Ia tak peduli jika Rina sudah merintih keenakan. Ia juga mengabaikan meski badan isterinnya sampai melengkung ke atas menahan kenikmatan. “Maaasssss….aku gak kuat Massss….”
Rina merasa tak bisa menahan kenikmatannya. Tapi sebenarnya itu belum seberapa, karena Bima masih memiliki jurus yang lainnya lagi. Lidah Bima kini menuju daerah paling vital Rina, vaginanya.
Perlahan-lahan lidah Bima turun ke bawah. Sambil menyusuri perut, tangan Bima mulai meraba labia mayora Rina. Terasa di tangannya rambut-rambut halus yang tumbuh di wilayah itu.
Bima sangat kagum dengan wilayah selangkangan Rina. Rambut-rambut di sekitarnya tertata rapi secara alami, membuat kesan seksi. Vaginanya sudah merekah, karena Bima membuka tungkai pahanya.
Lidah Bima mulai membelai bagian luar vagina isterinya. Rina pun melenguh. Sambil membelai, Bima mengamati dengan seksama kelamin isterinya. Itulah pertama kali ia melihat dengan jelas kelamin perempuan. Ia memperhatikan dengan detail, bentuknya, tekstur, warna, dan lainnya. Ia seperti sedang belajar biologi.
Tangan Bima membuka celah vagina dan menemukan satu bagian yang ia duga clitoris. Di celah bagian atas, ada tonjolan daging kecil yang dilingkari kulit dengan tekstur lebih halus. Tekstur itu terlihat licin karena dipenuhi lendir.
Bima tak mau langsung menyerang clitoris isterinya karena kata orang, itulah bagian paling sensitif selain dinding vagina. Bima coba memberi rangsangan di sekitar clitoris, di kulit melingkar yang teksturnya licin penuh cairan. Ia pun menyapu cairan itu dengan lidahnya.
“Mmmaaaasssss….Bima…” Rina meringis menahan kenikmatan padahal Bima baru menyentuh pinggirnya saja. Berkali-kali Bima melakukan itu, terasa asin di lidahnya. Rasa itu malah menimbulkan sensasi tersendiri. Maklum ini adalah pengalaman pertamanya.
Rina terus melenguh dan merintih. Ketika lidah Bima benar-benar menyentuh clitorisnya Rina tak bisa menahan suaranya, ia setengah teriak. Rina mengangkat pinggulnya tinggi-tinggi, sedangkan tangannya menekan kepala Bima agar terus menekan clitorisnya.
Bima mulai menghisap dan memberikan gigitan-gigitan kecil pada tonjolan itu. Rina semakin meracau. Pinggulnya terangkat-angkat, wajahnya menggeleng ke sana kemari. Nama Bima pun disebut berkali-kali. “Mas Mas, aku gak kuat Mas.. Mass… ooohhh…. maassss… Maaassss Bima sayang… ooohhhh…” Rina memang sudah tidak bisa mengontrol dirinya. Kenikmatannya semakin dekat. “Mmaaasss… Terus masss… Hisap Maassss…aku mau pipis maassss…”
Namun bukan pipis yang terjadi, badan Rina mengejang beberapa kali, pinggulnya terangkat tinggi-tinggi. Matanya terpejam, sedangkan mulutnya berteriak, “aaaaaahhhhhhh…….” Rina mencapai puncaknya.
Bima menghentikan aksinya. Ia kaget apa yang sudah terjadi pada isterinya. Ia takut kalau ia memberikan kesakitan lagi pada isterinya. Ia takut kalau ia ternyata menyentuh bagian yang lecet dari vagina Rina.
Apakah begitu sakitnya hingga pinggul Rina terangkat ke atas? Apakah sakit sekali hingga membuat Rina terlihat seperti orang yang kehabisan napas? Pikiran itu terbersit di kepala Bima.
Bima merasa bersalah. Ia memutuskan menghentikan aksinya dan mencium isterinya yang perlahan mulai tenang.
“Sayang kamu kenapa? Sakit ya? Maaf ya?” Ujar Bima.
Rina masih menikmati orgasmenya. Ia hanya menatap sayu kepada Bima. Namun ia tidak tega melihat wajah Bima yang merasa bersalah. “Nggak sayang, nggak sakit. Malah enak banget, mungkin itu orgasme, seperti kata Bu Wayan,” Rina berkata dan mencium Bima.
“Ooo orgasme, kaya tadi itu ya. Seksi banget sih,” ujar Bima.
“He he he, makasih ya Mas Bimaku,” balas Rina.
Sejenak mereka berdiam, diri. Rina teringat kata-kata Bu Wayan, perempuan kadang kala bisa langsung menikmati orgasme lagi jika mendapat rangsangan yang tepat. Maka ia ingin mencoba mendapatkan orgasme lewat penetrasi.
“Bim-bimmu masih tegang Mas?” Tanya Rina.
“Masih.”
“Masukin aja Mas. Aku pengen bim-bimmu,” ujar Rina memelas.
“Kamu yakin? Nanti sakit lagi,” Bima ragu-ragu.
“Pelan-pelan aja Mas.”
Bima pun kembali menuju vagina Rina. Kali ini ia bersiap-siap untuk melakukan penetrasi. Kedua kaki Rina dikangkangkan, dan memegang penisnya ke lobang vagina isterinya. Berbeda dengan yang pertama kali kemarin, kali ini Bima sudah tahu di mana letak lubang vagina Rina.
Bima benar-benar menghayati momen ini. Sejak awal ia memang ingin mempertemukan bim-bimnya dengan rin-rin isterinya. Ia sempat ragu kalau isterinya akan mendapat kesakitan lagi, dan ia juga sudah merasa puas ketika isterinya ternyata mendapatkan kenikmatan lewat sentuhan lidahnya.
Bima mengarahkan penisnya dengan satu tangan, sedangkan tangan lain menjadi tumpuan tubuhnya. Ia melihat Rina sudah pasrah menerima penisnya. Perlahan-lahan Bima menurunkan panggulnya dan penisnya mulai menerobos vagina Rina.
Berbeda dengan kemarin, kali ini lebih mudah. Vagina Rina lebih licin. Ia pun seakan tanpa halangan menuju dasar vagina Rina. “Aaaaahhhh….” Rina melenguh sambil menggoyang pinggulnya sedikit. Ia memperbaiki posisi vaginanya agar penis suaminya terasa pas menyentuh dinding vaginanya. “Aaauuu… Pelan-pelan Mas…” Ketika Bima menekan sekali lagi.
Bima menekannya dengan penuh perasaan. Ia ingin memberikan cinta lewat tekanan penisnya. Dan sekali tekanan lagi penis Bima sudah mencapai dasar vagina Rina, tenggelam dalam remasan dinding vagina isterinya.
Sesaat, Bima sangat menikmati momen itu. Ia merebahkan tubuhnya, berusaha mencium bibir Rina. Oooo indah sekali ketika penis sudah masuk ke dalam vagina, sedangkan bibirnya memberikan ciuman penuh cinta kepada isterinya. “Rina sayang, aku cinta kamu,” ujarnya ketika bibirnya lepas dari pagutan isterinya.
“Aku juga Mas Bimaku sayang. Jangan tinggalkan aku, kita akan bersama-sama sampai tua, sampai punya cucu Mas…,”balas Rina.
“Iya sayang,” Bima mengecup kening isterinya. Rina pun membalasnya dengan memeluk punggung suaminya. Pasangan itu benar-benar mabuk cinta, cinta yang tulus, yang menerima satu sama lain, dan membiarkan yang lain menguasai dirinya. Mereka saling memberi dan saling menerima secara bersamaan. Bima dan Rina sama-sama bisa merasakan itu.
Pelukan di punggung Bima menjadi rabaan lembut dari Rina. Bima belajar kalau hal itu mengisayaratkan bahwa isterinya ingin lebih, dari sekadar penis yang tertanam di vagina. Maka perlahan-lahan Bima mulai memompa vagina isterinya. Bima masih hati-hati melakukan gerakannya ketika ia melihat Rina meringis. Namun lama-kelamaan, kesan meringis itu hilang.
Dengan konstan Bima memompa penisnya lebih dalam. Ia ingin isterinya mengetahui kalau dia adalah laki-laki sejati.
“Dah gak sakit sayang,” tanya Bima diantara lenguhan Rina.
“Nggak Mas, terus Mas yang keras, yang dalam,” balas Rina.
Mendapat arahan seperti itu Bima melakukan penetrasi lebih dalam. Kini ia tak lagi hanya memaju mudurkan saja, ia menggunakan kekuatan panggulnya untuk menyodok lebih dalam. Akibatnya badan Rina ikut berguncang ketika penisnya menghujam vagina Rina.
Bima kemudian mengangkangkan kaki isterinya selebar-lebarnya, ia ingin penisnya benar-benar masuk sedalam-dalamnya. Rasanya sungguh luar biasa.
Saat Bima terlihat memburu nafas, Rina kemudian berimprovisasi dengan mengaitkan kakinya di bekalang pantat Bima. Rina terus memancing Bima agar menusuk lebih dalam lagi, dan lebih dalam lagi.
Tapi kemudian, Bima mengendurkan kaitan kaki Rina, agar tubuhnya berada pada posisi yang tepat. Ia ingin meraba payudara isterinya sambil terus memompa. Saat jarinya memainkan puting Rina, Rina seperti orang kelojotan.
“Oooooohhhh…..Mas….”
“Iya sayang, aku ingin kamu dapet kenikmatan lagi..”Ujar Bima.
“Iya Mas…enak. Putingnya Masss….,” pinta Rina.
Maka Bima pun menghisap puting Rina tanpa melepaskan penisnya dari vagina Rina. Rina meracau kembali. Ia merasakan kenikmatan tiada tara. Sungguh, saat vaginanya dijejali penis suaminya yang besar, putingnya mendapat rangsangan yang hebat. “Maassss…”
Bima benar-benar menikmati kepuasan Rina. Sementara penisnya dicengkram erat oleh vagina Rina, ia pun lega bahwa isterinya mendapat kenikmatan yang sama. Bima terus menghisap puting Rina kiri dan kanan bergantian.
Namun pada akhirnya, Bima merasakan urat-urat di bagian bawah penisnya memberikan isyarat kenikmatan yang luar biasa. Badannya menegang, rasa panas menjalar di seluruh tubuhnya. Ia merasa sebentar lagi akan orgasme.
“Sayang aku mau keluar,” ujarnya memberitahu isterinya.
“Iya sayang, aku juga. Tambah keras lagi sayang,” ujar Rina.
Bima pun memfokuskan pada sodokannya. Ia benar-benar membenamkan penisnya sedalam-dalamnya. Berat tubuhnya digunakan untuk membantu hal itu. Efeknya, tempat tidur mereka berderit-derit. Tak sampai lima menit, Bima benar-benar ingin memuntahkan spermanya di dalam mulut rahim Rina. Sodokannya tak terkendali, yang penting dalam dan keras. Dan sekali sentak menyeburlah sperma Bima. “Oooooooohhhhhhhhh…….” Dahsyat sekali klimaks Bima. Hal yang sama juga dirasakan Rina. Dinding vaginanya berkedut keras, dan menyusul teriakan Bima. “Aaaaaahhhhhh……”
Bima langsung menyosor bibir Rina, meski penisnya masih menghentak-hentak vagina Rina. Rina juga membalas memberikan ciuman ganas, karena ia tak ingin kehilangan kenikmatan orgasmenya. Lebih dari tiga kali, hentakan penis Bima dan kedutan vagina Rina terjadi bersamaan. Kini mereka berada di surga dunia.
“Hhhhmmmmm… Mas Bimaku hebat!” Ujar Rina setelah mereka lebih tenang.
“Kamu juga sayang. Punyaku seperti diremas-remas, enak banget, he he he…” Balas Bima.
Malam itu mereka tidur berpelukan tanpa mengenakan pakaian. Bahagia menyelimuti keduanya. Mereka sangat bersyukur dengan perjalanan ini. Terutama setelah berkenalan keluarga Wayan.,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,